Friday, October 21, 2011

Ulama Transformatif


Oleh: Fahmi Salim, MA.


Ulama adalah pewaris misi dan fungsi kenabian (HR. Ahmad). Para nabi sejatinya membawa misi transformasi sosial yang dijiwai oleh nilai tauhid, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (al-Anbiya: 25). 

Maka dalam rangka mengemban misi para rasul, sudah selayaknya ulama harus betul-betul mengamalkan fungsi kenabian bagi umat manusia seperti termaktub dalam firman Allah swt, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi” (al-Ahzab: 45-46). 


Ikhtiar mewujudkan perubahan di tengah umat setidaknya harus melakukan langkah berikut.


Pertama, saat mendiagnosa kondisi umat, da’i harus objektif, jujur dan berbasis ilmu yang kuat, berdasar fakta dan data riil, dan tidak boleh ceroboh. Agaknya inilah yang disasar dengan fungsi syahidan.


Kedua, optimis dan proaktif (mubassyiran); hampir dipastikan ulama akan menghadapi kondisi yang paradoks antara ma’ruf dan munkar. Optimisme harus dikedepankan daripada pesimisme, sebab perbaikan adalah proses berkesinambungan, bukan suatu yang instan apalagi paksaan. Setiap da’i tidak memulai dari nol, tapi sudah ada realitas di hadapannya; ada kondisi baik dan kondisi buruk. Upayakan jangan menuding masyarakat semuanya salah dan tergesa-gesa menuntut perubahan total dengan cara ekstrim.


Ketiga, saat meluruskan kekeliruan (nadziran) ulama da’i harus lembut dan bijak serta berempati. Tidak menuding “KALIAN salah!”, tapi pakailah kata-kata “KITA sedang menghadapi masalah ini dst”. Da’i mesti menempatkan dirinya bagian dari mereka, bukannya merasa di atas mereka. Ia sebisa mungkin tidak suka menyalahkan kondisi. Dalam kepalanya hanya ada teori konspirasi! Lebih bijak jika ulama da’i mengatakan, “Kita pernah mencoba ideologi ini dan itu, tapi selalu gagal. Ayo kita coba terapi Islam, sebab ia akan membawa kebaikan!” Dalam konteks ini, kritik harus datang dari orang yang kompeten di bidangnya. Kritik tukang becak terhadap sistem ekonomi yang salah tak akan digubris oleh otoritas. Lain hal jika yang melontarkannya adalah profesor ekonomi yang soleh.


Keempat, mampu menawarkan solusi alternative (da’iyan ilallah) dari wahyu ilahi secara gradual dan lembut agar umat dapat melewati jurang antara idealitas Islam dengan realitas yang buruk dengan selamat tanpa gejolak.


Kelima, sosok da’i harus menjadi teladan yang inspiratif bagi umat (sirajan muniran). Nilai-nilai Islam harus sukses ditransformasikan ke dalam diri dan keluarganya. Keteladanan amat efektif dalam mengubah umat, sebab satu contoh lebih baik dari seribu ceramah. Wallahu a’lam.

Dimuat dalam kolom Hikmah-Republika

0 komentar: