Oleh: Fahmi Salim, MA.
Sering dijumpai dalam formulir CPNS termaktub syarat bagi pelamar harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Namun realitasnya terma itu abstrak sekaligus dalam banyak hal absurd, soalnya setelah resmi jadi PNS tetap saja budaya korupsi marak meski ada syarat itu. Banyak kalangan menganggap takwa berarti takut kepada Allah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Asusmsi semacam ini sah-sah saja, tapi belum sepenuhnya mewakili esensi takwa, apalagi jika dikaitkan dengan upaya mengaktualkan terma takwa ini tak hanya untuk kesalehan individual, namun juga untuk melahirkan kesalehan sosial yang berdampak besar bagi kemakmuran yang bersendikan keadilan.
Secara bahasa, takwa berasal dari kata wiqayah: memelihara diri dari segala hal yang merusak dan merugikan diri kita. Allah swt berfirman: “Dan bertakwalah kamu (hindarilah) fitnah yang tak hanya akan menimpa orang-orang zalim di antara kalian secara khusus..” (al-Anfal: 25). Menghindar dan menjaga diri dari fitnah dan kemurkaan Allah dengan menjalankan sunnatullah secara benar dalam tataran kosmos maupun sosial dan pranata hukum, juga adalah esensi takwa kepada Allah swt.
Negara dan bangsa kita yang mayoritas muslim ini mengalami krisis keadilan dan penegakam hukum yang parah. Ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa ini harus proaktif mengatasi krisis tersebut. Salah satunya dengan cara mem-breakdown terma Takwa ke dalam reformasi mental para penegak hukum di negeri ini.
Oleh Al-Qur’an dinyatakan bersikap adil dalam menegakkan hukum adalah wujud Takwa –I’diluu huwa aqrabu littaqwa- (al-Maidah: 8). Sikap tegas dan tanpa pandang bulu, meski diberlakukan terhadap diri sendiri dan kerabatnya, dalam penegakan hukum hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang taqwa kepada Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatnnya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (fakta-data) atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (an-Nisa: 135)
Dalam prakteknya, para pemimpin yang bertakwa seperti Ali bin Abi Thalib berlaku tawadlu dan taat terhadap putusan hukum, meskipun perkaranya untuk klaim baju besi yang dikuasai seorang Yahudi dikalahkan oleh Qadhi Syuraih di sidang pengadilan. Pasalnya, sang khalifah mengajukan saksi yaitu Hasan, putranya sendiri, dan Qanbar, pembantunya. Oleh Syuraih, saksi dari kerabat seperti ini ditolak karena dianggap bisa menimbulkan bias. Akhirnya sang Qadhi memenangkan si Yahudi, dan Khalifah Ali pun menerimanya dengan ikhlas. Sikap tawadlu yang lahir dari takwa inilah justru memicu si Yahudi masuk Islam. “Duhai Amirul Mukminin, anda mengajukan saya kepada Qadhi bawahan anda, tapi dia malah memenangkan saya atas anda. Saya bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan saya bersaksi tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah”, ujar warga Yahudi itu. Subhanallah!
Dimuat dalam kolom Hikmah-Republika
0 komentar:
Post a Comment