PEMBARUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DALAM PENGEMBANGAN PRODUK KEUANGAN KONTEMPORER
(Transformasi Fikih Muamalat dalam Pengembangan Ekonomi Syari’ah)
Oleh: KH. Ma’ruf Amin
Pidato Ilmiah pada Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan
(Doctor Honoris Causa)
Dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah
Disampaikan di hadapan Sidang Senat Terbuka
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
5 Maret 2012
Mukadimah
”Inna Allah yab’ats li hâdzih al-ummah ’alâ kull ra’s mi’ah sanah man yujaddid lahâ dînahâ”[1] (Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat in pada setiap pengujung seratus tahun seorang yang memperbarui agama umat ini). Hadits ini merupakan dasar pentingnya pembaruan dalam Islam, karena secara eksplisit dalam hadits
ini disebutkan adanya pembaruan dalam agama pada setiap pengujung
seratus tahun (seabad), yang kemudian menjadi acuan bagi kebangkitan
Islam. Jadi, terdapat siklus rutin setiap abad tentang terjadinya
kebangkitan Islam yang diawali dengan adanya pembaruan dalam agama.
Jiwa hadits tersebut sepertinya juga terjadi
dalam sejarah kebangkitan nasional di Indonesia. Kebangkitan nasional
pertama terjadi pada ujung abad ke-19, yang diawali oleh adanya fatwa
para ulama tentang wajibnya membela tanah air dari penjajahan yang
kemudian mendorong terjadinya gerakan-gerakan perlawanan terhadap
penjajah Belanda yang dipelopori oleh para ulama, seperti pangeran
Diponegoro, Imam Bonjol, Geger Cilegon di Banten, dan sebagainya.
Gerakan-gerakan tersebut oleh Sartono Kartodirjo, seorang ahli sejarah
Indonesia, disebut sebagai “religious revival” atau kebangkitan agama[2]. Namun menurut hemat saya, istilah yang lebih pas untuk menandai fase tersebut adalah “Islamic revival”,
yaitu kebangkitan Islam, karena perlawanan dan gerakan yang dilakukan
itu didasarkan atas kesadaran keislaman akan pentingnya membebaskan
bangsa dari cengkeraman penjajahan.
Di
ujung abad ke-20, setelah seratus tahun dari fase kebangkitan Islam
pertama, menurut hemat saya terjadi kebangkitan Islam kedua, yaitu
tepatnya diawali pada tahun 1990 ketika MUI merekomendasikan lahirnya
lembaga perbankan berbasis non-bunga. Ini adalah merupakan awal dari
gerakan ekonomi syariah di Indonesia, sebagai kelanjutan dari pendapat
para ulama bahwa sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia tidak
sesuai dengan semangat ajaran Islam, karena berbasis bunga. Memang
diskursus tentang sistem ekonomi telah didominasi oleh dua sistem, yakni
sistem ekonomi kapitalis dan sosialis/komunis. Masing-masing dari dua
sistem ini berebut pengaruh -dan kemudian menancapkan hegemoninya- pada
negara-negara berkembang. Sejarah mencatat, dominasi dua sistem ekonomi
ini terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang, sehingga keduanya
membentuk sebuah kesadaran umum, termasuk pada umat Islam, bahwa tidak
ada pilihan lain dalam menjalankan sistem ekonomi kecuali harus memilih
salah satu di antara keduanya.[3]
Namun
demikian, pada saat itu sejumlah ulama dan cendekiawan muslim –yang
kemudian jumlahnya terus bertambah- mulai melihat fakta bahwa kedua
sistem ekonomi tersebut tidak bisa diharapkan terlalu banyak, karena
telah terbukti dampak buruk dari kedua sistem ekonomi ini. Mereka pun
berfikir perlu dikembangkannya sistem ekonomi alternative selain dua
sistem ekonomi tersebut. Setidaknya ada dua upaya yang dilakukan, yakni
(1) mengombinasikan dua sistem ekonomi tersebut ke dalam sistem ekonomi
baru, seperti yang telah dikembangkan oleh China selama dua dekade ini;
dan (2) memunculkan sistem ekonomi yang benar-benar berbeda
dari semangat kedua sistem ekonomi terdahulu. Upaya kedua ini yang
menjadi pintu masuk bagi sistem ekonomi syariah sebagai pilihan.
Pilihan
menjadikan sistem ekonomi syariah sebagai pengganti sistem ekonomi yang
sudah ada tidaklah mudah. Pada mulanya pihak-pihak yang meyakini dan
memperjuangkan sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi alternatif
yang berkeadilan dianggap sebagai “igauan” yang menjadi bahan cemoohan.
Keyakinan bahwa sistem ekonomi syariah dapat menutupi kelemahan dan
kekurangan sistem ekonomi kapitalis atau sosialis/komunis dianggap
sebagai keyakinan yang berlebihan dan bahkan dianggap sebagai sebuah
pernyataan bombastis-idealistis. Kondisi seperti ini memang merupakan
fakta sejarah yang terjadi di negara-negara Islam, tidak terkecuali di
Indonesia. Sampai dengan awal tahun 1990an cemoohan dan pandangan sinis
terhadap pihak-pihak yang gigih memperjuangkan sistem ekonomi syariah
masih nyaring terdengar. Namun pelan-pelan perjuangan untuk pengakuan
sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi alternatif mulai diterima.
Kebijakan politik negeri ini memberikan dukungan pertama kali dengan legislasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (pasal 6). UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit menyebutkan istilah "bank berdasarkan prinsip syariah".
Dengan demikian, rekomendasi MUI tentang mendesaknya pendirian lembaga keuangan yang bebas bunga menjadi moment penting bagi dimulainya gerakan ekonomi syariah di Indonesia. Setelah
itu, gerakan ekonomi syariah tidak kenal lelah senantiasa digaungkan
dan diperjuangkan oleh para aktivis ekonomi syariah, baik para ulama,
akademisi maupun praktisi. Gerakan ini pun menjadi tidak terbendung lagi bagaikan gerakan bola salju yang semakin membesar. Meski demikian, gerakan dan perjuangan ekonomi syariah ini tidak menggelinding begitu saja, tetapi
dikawal oleh lembaga-lembaga yang lahir dari gerakan ini, seperti Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Masyarakat Ekonomi
Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan sebagainya. Gerakan
dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian melahirkan lembaga-lembaga
teknis di lingkungan pemerintah, seperti Direktorat Perbankan Syariah di
Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di Departemen Keuangan,
dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Gerakan ini juga melahirkan sejumlah undang-undang dan peraturan perundangan lainnya,
misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan
peraturan-peraturan lainnya. Di samping itu, gerakan
ini juga melahirkan lembaga-lembaga keuangan syariah meliputi:
perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan
syariah, pasar modal syariah, bursa komoditi syariah, bisnis syariah,
dan sebagainya.
Itu
semua merupakan bagian dari apa yang saya sebut sebagai gerakan
kebangkitan Islam kedua. Berbeda dengan kebangkitan Islam pertama yang
merupakan gerakan politik, kebangkitan Islam kedua merupakan gerakan
ekonomi. Semangat dari gerakan ini adalah membebaskan Indonesia dari
pengaruh sistem ekonomi kapitalis-ribawi yang “menjajah” negeri ini.
Gerakan ini diharapkan dapat menginspirasi dan mendorong lahirnya
kebangkitan nasional kedua yang akan melahirkan ekonomi yang
berkeadilan, melahirkan Indonesia yang sejahtera, Indonesia yang
diridhai oleh Allah, Indonesia yang baldatun thayyibatun warabbun ghafurun.
Urgensi Pembaruan Hukum Islam
Pembaruan hukum Islam selain didasarkan atas hadis di atas juga didasarkan atas kaidah: “taghayyur al-fatwâ bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl wa al-niyyât wa al-‘awâid“[4] (perubahan fatwa hukum karena perubahan zaman, tempat, kondisi, niyat dan adat kebiasaan). Kaidah ini menunjukkan salah satu karakteristik
hukum Islam (fikih) yang fleksibel dan kontekstual, sejalan dengan
dinamika dan perkembangan zaman, terutama dalam menjawab persoalan-persoalan baru dan yang terbarukan (al-masail al-jadidah wa al-mustajaddah).
Kaidah ini juga menegasikan anggapan sebagian orang bahwa hukum Islam
(fikih) merupakan suatu yang sakral yang tidak mungkin berubah.
Fikih dipahami sebagai kompilasi hukum Islam yang sepenuhnya baku dan diasumsikan sama kuat dan sakralnya dengan nushush syari’yyah yang terdapat dalam al-Qur'an atau al-Hadis. Padahal hakekatnya tidaklah demikian, sebagaimana kaidah di atas bahwa pembaruan hukum Islam (fikih) merupakan suatu keniscayaan, karena teks al-Qur'an maupun al-Hadith sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya. Para ulama menjelaskan hal ini dengan ungkapan: li
anna an-nushus mahdudah walakin al-hawadits wa an-nawazil ghair
mahdudah, aw li anna an-nushus tatanaha walakin al-hawadits wa
an-nawazil la tatanaha, [5] (Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidaklah
terbatas, atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan
permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti).
Untuk keperluan pembaruan hukum Islam (fikih), para ulama sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan metodologi (manhaj) yang kokoh. Memahami fikih sebatas pada kumpulan hukum Islam yang sudah ada tidak cukup; dan oleh karenanya, pembaruan hukum Islam merupakan suatu keniscayaan, terutama di era yang sangat cepat perubahannya ini sebagai akibat kemajuan di bidang industri, perdagangan, jasa, kontrak perjanjian, teknologi, komunikasi, dan lain-lain. Di antara faktor-faktor yang mendorong mendesaknya pembaruan hukum Islam dewasa ini antara lain[6]:
Pertama, perubahan sosial, yang meliputi perubahan budaya, ekonomi dan politik pada masa kini mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha)
untuk melakukan telaah ulang terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu
yang tidak sesuai lagi dengan konteks sosial saat ini. Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap upaya mencari pendapat yang lebih kuat (rajih)
di antara pendapat-pendapat yang berkembang dalam fikih klasik di mana
pada masa klasik ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang pesat,
khususnya ilmu-ilmu eksakta. Dengan bantuan ilmu dan teknologi, para
ahli hukum Islam (fuqoha) dapat menelaah kembali ketentuan hukum-hukum lama yang telah menjadi diskursus pada abad pertengahan untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian jauh lebih kompleks. Pada saat ini, penentuan pendapat yang lebih kuat (rajih) tidak hanya didasarkan pada argumen tekstual dengan pendekatan deduktif, atau bahkan sekedar pendekatan madzhab fikih ansich, tetapi juga relevansinya dengan perubahan masyarakat.
Ketiga, tuntutan perkembangan zaman mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha) kontemporer
untuk melihat kompleksitas masalah kontemporer dan memilih
pandangan-pandangan dan fatwa hukum yang lebih memudahkan (taisir) dan menghindari kesulitan (al-haraj) dalam hukum-hukum furu’, baik dalam masalah ibadah maupun muamalat. Keempat, Munculnya kasus-kasus baru dan yang terbarukan mengharuskan adanya ijtihad baru karena masalah-masalah tersebut belum pernah dijawab oleh para fuqaha klasik.[7]
Fatwa Sebagai Sarana Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah
Fatwa muncul selain didasarkan atas nushush syar’iyyah juga didasarkan atas refleksi dari kondisi sosial yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh kondisi sosial terhadap lahirnya sebuah fatwa, sehingga dapat dikatakan bahwa relevansi sebuah fatwa sangat bergantung pada kondisi sosial yang melingkupinya.[8]
Prinsip ini sangat relevan untuk dijadikan alat bantu memahami lahirnya
fatwa kontemporer yang mungkin berbeda dari apa yang termaktub dalam
buku-buku fikih. Tidak bisa dipungkiri, banyak terjadi kerancuan
-terutama di kalangan masyarakat umum- dalam memahami fatwa dan fikih. Mungkin
karena adanya kemiripan antara fikih dan fatwa, sehingga keduanya
dipahami sebagai sama dan sebangun. Belum lagi jika melihat keluaran (output) di antara keduanya hampir sama, yakni berupa hukum. Menyamakan fatwa dengan fikih hanya karena output keduanya sama merupakan kesalahan yang sangat mendasar.
Walaupun keduanya menghasilkan hal yang sama, yakni hukum, namun pada
dasarnya di antara keduanya mempunyai perbedaan-perbedaan.
Perbedaan antara fikih dan fatwa bisa dipahami dari definisi keduanya. Fikih didefinisikan sebaga al-‘ilmu bil-ahkam al-syar'iyyah al-‘amaliyyah al-muktasab min adillatiha al-tafshiliyyah[9] (mengetahui hukum syari'ah amaliah yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci). Sedangkan fatwa dapat didefinisikan sebagai tabyin al-hukm as-syar’iyy liman saala ‘anhu[10] (menjelaskan hukum syar’i kepada orang yang menanyakannya). Definisi ini memberikan gambaran bahwa fikih merupakan hasil dari proses penyimpulan hukum syar’i dari dalil-dalil rinci (tafshili), sedangkan
fatwa merupakan hasil dari proses penyimpulan hukum syar’i dari
permasalahan yang ditanyakan. Fikih bersandar pada proses penggalian
terhadap dalil-dalil tafshili, sedangkan fatwa bersandar pada identifikasi permasalahan (tashawwur al-masalah) kemudian dicarikan hukumnya dari dalil-dalil tafshili.
Dengan begitu, perbedaan mendasar antara fikih dan fatwa adalah pada
identifikasi permasalahan yang terjadi; fikih tidak memerlukannya,
sedangkan fatwa sangat memerlukannya[11].
Kesimpulan tersebut mempertegas proposisi di atas, bahwa fatwa lahir selain didasarkan atas nushush syar’iyyah, juga didasarkan atas refleksi dari kondisi sosial yang melingkupinya[12]. Sebagaimana difahami bahwa proses identifikasi permasalahan yang ditanyakan oleh mustafti (orang yang meminta fatwa) merupakan refleksi terhadap kondisi sosial yang melingkupinya. Akibatnya,
fatwa yang merupakan hasil dari proses mendialogkan kondisi sosial dan
nash menghasilkan kesimpulan hukum yang mungkin berbeda dari kesimpulan
hukum yang termaktub dalam kitab-kitab fikih terdahulu.
Proposisi di atas sangat relevan untuk dijadikan alat (tool)
dalam memahami fatwa di bidang ekonomi syariah, khususnya fatwa-fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang boleh
jadi dalam kasus tertentu tidak sama dengan kesimpulan hukum yang
termaktub dalam kitab-kitab fikih terdahulu. Hal ini terjadi karena ditemukannya hal-hal baru yang menjadi ‘illah
hukum yang mungkin belum terjadi di waktu yang lampau. Perkembangan
permasalahan di bidang ekonomi saat ini sangat besar, sehingga ada yang
mengatakan bahwa bidang ekonomi syariah kontemporer merupakan lahan
ijtihad baru. Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI sebagai sebuah hasil ijtihad kolektif di bidang ekonomi syariah merupakan jawaban atas permasalahan atau perkembangan aktivitas
ekonomi yang muncul di Indonesia. Bahwa fatwa-fatwa tersebut ada yang
tidak sama dengan kesimpulan hukum yang termaktub dalam kitab-kitab
fikih terdahulu adalah merupakan suatu hal yang wajar, karena permasalahan yang muncul saat ini berbeda dengan permasalahan yang terjadi ketika itu. Namun demikian, antara keduanya mempunyai ruh yang sama, yakni mewujudkan tujuan utama syariat (tahqiq maqasid as-syari’ah)[13].
Karakteristik
fatwa yang merupakan respons terhadap suatu masalah yang berkembang
merupakan pintu masuk yang sangat realistis bagi pembaruan hukum Islam.
Fatwa DSN-MUI dalam tataran tertentu secara sadar dimaksudkan untuk
melakukan pembaruan tersebut. Memang pembaruan hukum ekonomi Islam yang
dilakukan oleh DSN-MUI tidak dalam arti menciptakan hukum baru yang sama
sekali tidak terkait dengan pendapat ulama terdahulu. Pembaruan yang
dilakukan oleh DSN-MUI melalui fatwanya lebih pada menguji validitas ‘illah terhadap pendapat ulama terdahulu (masalik al-‘illah), jika ‘illahnya masih dipandang relevan dengan kondisi kekinian maka pendapat ulama tersebut akan dipakai, sedangkan jika ‘illahnya dianggap sudah tidak cocok lagi dengan kondisi kekinian maka pendapat tersebut ditinggalkan, tetapi manhaj istinbatul hukm-nya tetap dipakai oleh DSN-MUI. Itulah yang menyebabkan ada beberapa fatwa DSN-MUI dianggap tidak sejalan dengan pendapat lahiriah ulama terdahulu dalam kitab-kitab fikih mu’tabarah.
Fatwa tentang ekonomi syariah yang ditetapkan oleh DSN-MUI selain dibangun di atas manhaj tertentu juga tidak terlepas dari landasan umum hukum ekonomi syariah. Menurut hemat saya,
setidaknya ada tujuh prinsip (yang terangkum dalam singkatan MaRGa
KAMI) yang harus dijadikan landasan dalam penetapan fatwa ekonomi
syariah[14]. Pertama adalah Maslahah., artinya aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat (jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid)[15].
Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa segala bentuk mu’amalat yang
dapat merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan,
seperti perjudian, penjualan narkotika secara tidak sah, prostitusi dan
sebagainya.
Kedua adalah Ridha, artinya aktifitas perekonomian syariah harus dilakukan atas dasar sukarela (taradhi), dengan tanpa mengandung unsur paksaan (ikrah).[16]
Kaidah saling sukarela antara pihak yang melakukan transaksi ini
merupakan prinsip yang fundamental dalam setiap aktifitas perekonomian
syariah, sehingga kedua belah pihak dapat terhindar dari aktifitas ekonomi yang di dalamnya terdapat unsur tekanan, paksaan, penipuan atau ketidakjujuran. Namun demikian, semua aktifitas perekonomian yang didasarkan atas prinsip saling rela itu tidak secara otomatis dianggap sah secara syar’i, karena pada
dasarnya saling rela merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian,
bukan menjadi penyebab dibolehkannya sesuatu yang dilarang (ar-ridha ruknun li al-‘aqdi wa laisa sababan li al-hilli). Selain itu, aktifitas ekonomi syariah juga harus didasarkan atas prinsip ketidak-terpaksaan (ghair ikrah).
Prinsip ini merupakan prinsip dasar dalam fiqh mu’amalat dan merupakan
prinsip dasar pula dalam hukum perjanjian (akad). Pihak-pihak yang
melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, baik
dalam menentukan yang diperjanjikan (obyek perjanjian) maupun
syarat-syaratnya, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian jika
terjadi sengketa. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan
selama tidak bertentangan dengan ketentuan syari’ah lainnya.
Ketiga adalah Gharar,[17] artinya praktik perekonomian syariah harus jauh dari tipu daya (’adam al-gharar). Saya
setuju dengan Al-imam al-Khithabi yang menyatakan bahwa setiap
jual-beli yang tidak diketahui maksudnya dan tidak bisa diukur maka itu
termasuk gharar. Misalnya menjual ikan yang masih di lautan,
atau menjual burung yang masih terbang di udara, atau menjual barang
dalam bungkus yang tidak diketahui kondisinya. Setiap transaksi ekonomi
yang mengandung penipuan (gharar fahisy) maka dianggap tidak sah. Keempat adalah Khidmah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus mampu mewujudkan pelayanan sosial (tahqiq al-khidmah al-ijtima’iyah). Aktifitas
ekonomi syariah harus diorientasikan pada terciptanya pelayanan sosial
yang bisa meringankan beban kaum yang lemah secara ekonomi. Prinsip ini
harus menjadi tujuan dari setiap aktifitas ekonomi syariah, karena dalam
ekonomi syariah selain diperbolehkan untuk menambah keuntungan dan
kekayaan yang berlimpah, juga harus memperhatikan kondisi sosial di
sekitarnya.
Kelima adalah Adil,[18] artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada terciptanya keadilan dan keseimbangan (al-’adlu wa at-tawazun).
Ekonomi syariah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan
menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi yang
mengandung unsur penindasan tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas
ekonomi harus memperhatikan keseimbangan antara pihak-pihak yang
melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan perlu adanya keseimbangan
sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian. Misalnya, setiap upaya
untuk mendapatkan keuntungan tentu saja di situ ada resiko-resiko
kerugian yang harus ditanggungnya. Jika
keuntungan yang diharapkan lebih besar, di situ faktor resiko
kerugiannya juga lebih besar. Sebaliknya, setiap transaksi bisnis yang
mempunyai resiko besar, biasanya juga menjanjikan keuntungan yang besar
pula. Harus ada sikap proporsional antara upaya meraih keuntungan dan
kesiapan untuk menanggung kerugian, sesuai kaidah al-ghunmu bil-ghurmi wal-ghurmu bil-ghunmi.
Keenam adalah Mubah,[19] artinya segala bentuk aktifitas dalam ekonomi (mu'amalat) pada dasarnya hukumnya adalah boleh (mubah),
kecuali jika ditentukan lain oleh suatu dalil. Prinsip (kaidah) ini
merupakan landasan dalam menentukan hukum suatu transaksi ekonomi. Saya
tidak sependapat dengan pihak yang beranggapan bahwa praktik ekonomi
syariah banyak membawa kesulitan. Menurut hemat saya,
kaidah ini menunjukkan bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas bagi
perkembangan bentuk dan macam mu’amalat baru sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hidup masyarakat. Ketujuh adalah Istirbah,[20] artinya aktifitas ekonomi syariah juga harus memperhatikan prinsip profitable (al-istirbah), karena setiap kegiatan ekonomi tentunya mengharapkan adanya keuntungan. Jadi, tidak logis jika transaksi ekonomi tidak mengharapkan keuntungan.
Pengembangan Ekonomi Syariah
Akomodasi
sistem ekonomi syariah ke dalam sistem ekonomi nasional barulah terjadi
semenjak awal tahun 1990an. Walaupun tergolong baru, pertumbuhan
Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia tergolong pesat dan mempunyai
prospek besar untuk dikembangkan lagi. Berbagai pihak baik regulator,
praktisi ataupun akademisi sesuai dengan kapasitas masing-masing telah
berusaha untuk melakukan akselerasi mengembangkan lebih besar lagi
ekonomi syariah di Indonesia. Dalam konteks mengembangkan sisi
kesyariahan, ekonomi syariah di Indonesia, menurut hemat saya,
setidaknya ada lima hal yang perlu untuk terus dikembangkan dan
dikuatkan, yakni: (1) penguatan DSN-MUI sebagai mufti bidang ekonomi
syariah, (2) pembaruan hukum ekonomi syariah (tajdid al-ahkam at-tathbiqiyah)[21] melalui Fatwa, (3) akomodasi fatwa dalam peraturan perundangan (taqnin al-fatwa), (4) pengawasan pelaksanaan fatwa (muraqabah tathbiq al-fatwa), dan (5) penyelesaian sengketa (tahkim).
1. Penguatan DSN-MUI sebagai Mufti Bidang Ekonomi Syariah
Setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam
menjalankan operasionalnya selain harus sejalan dengan prinsip-prinsip
lembaga keuangan, juga harus sejalan dan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Saat ini lembaga yang mempunyai otoritas mengatur LKS, baik
bank ataupun non bank, tidak dilengkapi dengan otoritas dalam bidang
kesyariahan. Bank Indonesia yang mempunyai otoritas mengatur lembaga keuangan
sektor perbankan, dan Departemen Keuangan yang mempunyai otoritas
mengatur lembaga keuangan dan lembaga bisnis sektor non-perbankan tidak
mempunyai kompetensi untuk menentukan apakah operasional ataupun produk
yang dikeluarkan oleh LKS belum atau telah sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Karena memang kedua lembaga pemerintah ini tidak didisain
untuk mengurusi aspek kesyariahan.
Menyerahkan
kewenangan dalam memastikan kesesuaian kesyariahan setiap akad,
operasional dan produk dari lembaga keuangan syariah kepada
masing-masing LKS tidaklah mudah. Bahkan hal ini dapat membawa resiko
besar, terutama karena adanya potensi terjadinya perbedaan hukum dalam
kasus yang sama, yang disebabkan oleh karakteristik fikih itu sendiri
yang demikian lentur. Hal ini terjadi karena semakin berkembangnya
produk dan model-model akad yang dipergunakan oleh LKS serta belum
tercovernya hal tersebut dalam pendapat para fuqaha terdahulu.
Sebenarnya di Indonesia terdapat sejumlah ormas Islam yang di dalamnya
ada sejumlah ulamanya, sehingga mempunyai kapasitas untuk menetapkan
fatwa. Namun setiap ormas Islam mempunyai metode penyimpulan hukum (al-manhaj fi istinbath al-hukmi)
yang khas yang boleh jadi antara satu ormas Islam dengan lainnya tidak
sama, sehingga berpotensi adanya ketidaksamaan dalam menetapkan fatwa
suatu kasus yang sama. Kondisi ini tentu saja menjadi tidak kondusif
bagi dunia ekonomi dan keuangan disebabkan oleh potensi tidak
adanya kepastian hukum dalam satu kasus yang sama. Oleh karenanya,
dibutuhkan adanya sebuah lembaga yang merepresentasi keberadaan
ormas-ormas Islam di Indonesia yang mempunyai otoritas merumuskan fatwa,
yang dapat dijadikan pegangan bagi LKS dalam menjalankan transaksi
akadnya.
Selama
ini lembaga yang merepresentasikan ormas Islam di Indonesia dan diberi
kewenangan untuk mengeluarkan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang logis jika penetapan
fatwa ekonomi syariah juga diamanahkan kepada MUI. Kemudian untuk
menangani hal ini, MUI membentuk Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) yang khusus menjalankan fungsi MUI dalam bidang
ekonomi syariah, sehingga posisi DSN-MUI adalah mufti di Indonesia
terkait dengan masalah ekonomi syariah. Tugas utama DSN-MUI adalah
menjalankan fungsi MUI dalam bidang ekonomi syariah, yang meliputi
penetapan fatwa ekonomi syariah, pemberian opini syariah produk lembaga
keuangan syariah ataupun regulator, pengawasan kesesuaian syariah di
setiap LKS, dan pemberian rekomendasi Dewan Pengawas Syariah.
2. Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah (Tajdid Al-Ahkam At-Tathbiqiyah) Melalui Fatwa
Bidang
ekonomi syariah merupakan lahan baru untuk ijtihad karena
perkembangannya yang begitu cepat dan masih sedikitnya pendapat ahli
fikih tentang masalah ini[22].
Untuk merespons hal ini dilakukan ijtihad jama’i melalui perumusan
fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Dalam proses penetapan fatwa ini,
DSN-MUI mempergunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan nash qath’i[23], pendekatan qauli dan pendekatan manhaji.[24]
Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau al-Hadits dalam menetapkan suatu masalah yang sudah terdapat dalam nash al-Qur’an ataupun al-Hadits secara jelas.[25] Apabila masalah itu tidak terdapat dalam nash al-Qur’an maupun al-Hadits, maka proses perumusan fatwa dilakukan dengan pendekatan qauli dan manhaji. Pendekatan qauli dilakukan apabila permasalahan yang ada telah ditemukan jawabannya melalui pendapat ahli fikih yang terdapat dalam al-kutub al-mu’tabarah yang ‘illah hukumnya sesuai dengan yang terjadi saat ini dan hanya terdapat satu pendapat (qaul).
Dalam kondisi seperti itu maka fatwa akan memakai pendapat ulama
tersebut. Namun jika pendapat yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk
dipegangi karena ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal, sangat sulit untuk dilaksanakan, atau karena illat-nya berubah, maka dalam hal ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adah an-nadhar) pendapat tersebut.[26]
Apabila jawaban terhadap masalah yang dimintakan fatwa tidak dapat dipenuhi oleh nash qath’i dan pendapat yang ada dalam al-kutub al-mu’tabarah, maka penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji, yakni dengan menggunakan metode: al-jam’u wat taufiq, tarjihi, ilhaqi dan istinbathi.[27] Jika dalam masalah yang dimintakan fatwa itu terjadi khilafiyah
di kalangan imam madzhab, maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil
usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab melalui
metode al-jam’u wa al-taufiq. Namun jika usaha al-jam’u wa al-taufiq tidak berhasil, maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi, yaitu dengan menggunakan metode muqaran al-madzahib dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh al-muqaran.[28]
Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada qaul yang menjelaskan secara persis dalam al-kutub al-mu’tabarah namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah.[29] Jika metode ilhaqi ini tidak bisa dilakukan karena tidak ada mulhaq bih dalam al-kutub al-mu’tabarah, maka penyelesainnya dilakukan dengan metode istinbathi. Metode istinbathi ini dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari’ah.
Di samping metode-metode tersebut, secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid al-syari’ah.[30]
Metode-metode di atas selama ini telah mencukupi untuk dijadikan
kerangka paradigmatik dalam menjawab permasalahan ekonomi yang muncul
melalui fatwa DSN-MUI. Di samping itu, ada kaidah-kaidah yang secara spesifik mendasari banyak fatwa DSN-MUI, yakni kaidah tafriq al-halal min al-haram dan i’adah an-nadhar.
a. Tafriq al-halal nin al-haram
Kaidah
ini relevan dikembangkan di bidang ekonomi syariah, mengingat bahwa
kegiatan ekonomi syariah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem
ekonomi konvensional yang ribawi. Paling tidak,
lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan ekonomi konvensional
yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun
keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min al-haram
(pemisahan unsur halal dari yang haram) dapat dilakukan sepanjang yang
diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari yang halal. Bila unsur
haram dan halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus
dikeluarkan.
Kaidah ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa harta atau uang dalam persepektif fiqh bukanlah benda haram karena zatnya (‘ainiyah) tetapi karena cara memperolehnya (kasbiyyah). Oleh
karena itu, bila harta atau uang yang halal tercampur dengan yang haram
sedangkan bagian yang haram dapat diidentifikasi dan dikeluarkan, maka
harta atau uang yang tersisa adalah halal hukumnya. Dasar kaidah ini
dapat dirujuk dari keterangan para ulama. Ibnu Shalah menyatakan[31]:
?? ????? ????? ???? ?????? ???? ? ?? ????? ?????? ?? ???? ??? ?????? ?????? ??????? ????? ???? ?? ??? ????? ???? ???? ???? ???? ?? ???.
Jika
uang yang halal tercampur dengan uang yang haram dan tidak dapat
dibedakan, maka jalan keluarnya adalah memisahkan bagian yang haram
serta menggunakan sisanya. Sedangkan bagian haram yang dikeluarkan, jika
ia tahu pemliknya maka ia harus menyerahkannya atau bila tidak maka
harus disedekahkan.
?? ????? ????? ?????? ??????? ???? ??? ?????? ??????? ???? ??
Jika
seorang hartanya tercampur antara unsur yang halal dan yang haram maka
unsur haram harus dikeluarkan nominalnya, dan sisanya halal baginya.
Kaidah
tersebut diyakini sebagai jalan tengah yang paling cocok untuk
diaplikasikan di Indonesia. Selama ini dua pandangan mengenai masalah
ini, ada yang mengharamkan mutlak dan ada yang membolehkan mutlak.
Pandangan yang mengharamkan secara mutlak adanya percampuran uang
sebagaimana disebut di atas berpatokan pada kaidah:
??? ????? ?????? ??????? ??? ??????
Jika hal yang halal dan haram tercampur maka dimenangkan yang haram.
Menurut
hemat saya, penggunaan kaidah ini untuk mengharamkan secara mutlak
adanya percampuran harta antara yang halal dan haram sebagaimana dalam
kasus permodalan lembaga keuangan syariah yang didapat dari lembaga
keuangan konvensional sangatlah tidak tepat. Kaidah
ini hanya cocok dalam kasus percampuran yang tidak mungkin dipisahkan
unsur halal dan haram selamanya, baik secara hakiki maupun secara hukum.
Sedangkan dalam kasus harta atau uang, pemisahan yang halal dari yang
haram (tafriq al-halal min al-haram) adalah mungkin dilakukan
dengan cara memisahkan unsur haram dari yang halal, karena haramnya
harta di sini bukan karena zatnya tapi karena cara memperolehannya.[33]
Senada dengan pendapat tersebut adalah ungkapan yang disampaikan oleh imam al-Suyuthi, sebagai berikut:[34]:
?????????:
?????? ????????? ?????? ?????? ????????????? ?????? {?????????? ???
????????? ??????????} ?????? ?????? ??????? ?????????? ????? ???????
?????????????????? ???? ???? ?????? ? ??????????. ????? ?????
????????????: ?????? ??????? ???? ??????? {???? ????????? ??????????
???????????? ? ?????? ??????????}? ???????? ???????????? ???????
???????????? ???? ????? ???????? ?????????? ?????? ?????????? ??????????
????????????? ??? ????????????? ??? ???????? ????????. ?????? ???????
??????: ??? ????????? ??? ?????? ??????????? ????????? ???????????? .
Ada
kaidah yang berlawanan dengan kaidah ini, yakni kaidah: “(sesuatu) yang
haram tidak mengharamkan (sesuatu) yang halal”, ini adalah lafaz hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Dar al-Quthni, dari Ibnu Umar,
dari rasulullah SAW. Pendapat Ibnu as-Subuki bahwa kaidah ini berlawanan
dengan kaidah: “Jika hal yang halal dan haram tercampur maka
dimenangkan yang haram” sesungguhnya tidaklah demikian, karena mahkum
bihnya di sini adalah menghukumi sesuatu yang halal sebagai haram dengan
alasan dimenangkannya yang haram dan alasan kehati-hatian, bukan dengan
alasan karena ia (yang halal tadi) berubah menjadi haram. Contohnya,
tercampurnya dirham yang (yang diperoleh dengan cara) haram dengan
dirham (yang diperoleh dengan cara) mubah.
Di
sisi lain, pendapat yang membolehkan dan menghalalkan secara mutlak
adanya percampuran antara harta yang haram dan halal didasarkan atas
kaidah ‘umum al-balwa, yang mengatakan bahwa percampuran dana
halal dan haram dalam praktek ekonomi adalah merupakan suatu hal yang
tidak terhindarkan, atau sulit dihindari, oleh karenanya hukumnya
menjadi boleh. Jikapun hukum asalnya dikatakan haram, akan tetapi karena sulit untuk dihindari maka hukumnya menjadi termaafkan (ma’fu ‘anhu) berdasar kaidah ‘umum al-balwa. Penggunaan kaidah ‘umum al-balwa untuk membolehkan semua percampuran dana halal dan haram dalam praktek ekonomi sebagaimana pendapat kedua tersebut juga menurut hemat saya tidaklah tepat. Alasannya, kaidah ‘umum al-balwa
ini bisa berlaku hanya dalam kasus benar-benar tidak bisa terhindar
dari sesuatu yang dianggap haram. Sedangkan dalam kasus percampuran
harta atau uang maka kita masih bisa memilah dan memisahkannya antara
yang halal dari yang haram. Oleh karenanya, penggunaan kaidah ‘umum al-balwa ini menjadi tidak tepat.
Dengan demikian, penerapan kaidah tafriq al-halal min al-haram
dalam praktek ekonomi syariah yang memungkinkan adanya peluang
tercampurnya harta yang non halal merupakan pendapat yang moderat, yang
berada di tengah antara pendapat yang mengharamkan secara mutlak dengan
alasan kaidah idza ijtama’a al-halal wal haram ghuliba al-haram, dan pendapat yang menghalalkan secara mutlak dengan alasan ‘umum al-balwa.
Aplikasi teori tersebut
dalam contoh kasus adalah pembentukan Unit Usaha Syariah dari lembaga
perbankan konvesional. Sebagian orang meragukan kehalalan produk Unit
Usaha Syariah ini, karena modal pembentukannya berasal dari bank
konvensional yang ribawi. Padahal dalam kasus ini dapat dilakukan tafriq al-halal min al-haram.
Caranya adalah dengan mengidentifikasi unsur-unsur yang halal dan haram
dari aset kekayaan bank konvensional dengan mengeluarkan aspek haramnya
secara hukumnya saja. Contoh lain adalah kasus pembentukan reksadana
syariah yang kemudian diakomodir dalam fatwa DSN-MUI Nomor 20 Tahun 2001
tentang Reksadana Syariah dan telah diregulasi dalam Peraturan Bapepam
Nomor IX.A.13 Tahun 2009.
Reksadana
sendiri adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal yang punya tujuan investasi bersamaan. Pengelolaan
reksadana dilakuakan
oleh manajer ivestasi berdasrkan kontrak yang dibuat menurut ketentuan
Bapepam. Manajer investasi wajib mengelola portofolio Reksadana menurut
tujuan dan kebijakan investasi yang dicantumkan dalam kontrak dan
prospektus. Sebagai imbal jasa pengelolaan reksadana, manajer investasi
berhak memperoleh manajement fee
yang besarnya disesuaikan dengan nilai aktiva bersih reksadana dan
kinerja pengelolaan. Nilai aktiva bersih adalah nilai pasar wajar dari
portofolio efek dan kekayaan lain dari reksadana dikurangi seluruh
kewajibannya.[35] Adapun reksadana syariah
diartikan sebagai reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan
prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai
pemilik dengan manajer investasi sebagai pengguna.
Berdasarkan
penelitian Karim Bussiness Consulting pada tahun 2003, mayoritas saham
yang tercatat di Bursa Efek Jakarta terdiri dari 333 saham emiten yang
tercatat, di antaranya 236 saham sesuai dengan prinsip syariah dan layak
ditransaksikan di pasar modal syariah. Kesesuaian dalam prinsip
tersebut didasarkan pada produk yang dihasilkan emiten dan transaksi
sahamnya di BEJ. Sementara itu, sisanya 59 saham tergolong haram atau
tidak sesuai dengan syariah seperti saham perbankan konvensional,
minuman keras, dan lain-lain. Sisanya 34 saham tergolong syubhat seperti saham perhotelan dan 4 saham tergolong mudharat.
Dalam konteks inilah teori tafriq al-halal min al-haram
menjadi relevan. DSN-MUI dalam fatwanya secara tegas menetapkan bahwa
dalam penentuan dan pembagian hasil investasi harus bersih dari unsur
non-halal, sehingga manajer investasi harus melakukan pemisahan bagian
pendapatan yang mengandung unsur non-halal dari pendapatan yang diyakini
halal (tafriq al-halal minal haram). Penghasilan yang dapat diterima oleh Reksadana syariah adalah dari :
1) Saham
berupa deviden yang merupakan bagi hasil keuntungan yang dibagikan dari
laba yang dihasilkan emiten, baik dibayarkan dalam bentuk tunai atau
dalam bentuk saham; rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan oleh emiten; capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dalam jual beli saham di pasar modal.
2) Obligasi yang sesuai syariah;
3) Surat berharga dari pasar uang yang sesuai dengan syariah;
4) Bagi
hasil deposito dari bank-bank syariah. Sedangkan hasil investasi yang
harus dipisahkan yang berasal dari non halal akan digunakan untuk
kemaslahatan umat.
Fatwa
tersebut telah diadopsi dalam Peraturan Peraturan Bapepam Nomor IX.A.13
Tahun 2009, di mana dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa efek atau
instrumen (surat berharga ) yang tidak memenuhi prinsip-prinsip
syariah dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari nilai pasar wajar
pada saat masih memenuhi prinsip-prinsip syariah, dipisahkan dari
perhitungan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana dan diperlakukan
sebagai dana sosial.
b. I’adah al-nadhar
Pembaruan hukum ekonomi syariah juga dapat dikembangkan dengan mengedepankan teori i’adah al-nadhar (telaah ulang) dengan cara menguji kembali alasan hukum (‘illah) dari pendapat ulama terdahulu tentang suatu masalah. Telaah ulang ini dilakukan, karena ‘illah
hukumnya telah berubah atau karena beberapa pendapat para ulama
terdahulu dipandang tidak aplikatif dan tidak memadai dengan kondisi
kontemporer. Pendapat itu dianggap sudah tidak cocok lagi untuk
dipedomani, karena sulit diimplementasikan (ta’assur, ta’adzdzur aw shu’ubah al-amal). Salah satu cara yang bisa dipakai untuk melakukan telaah ulang adalah dengan menguji kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur), karena adanya ‘illah hukum yang baru dan atau pendapat tersebut lebih membawa kemaslahatan. Selanjutnya pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu’tamad) dalam menetapkan hukum.
Mempertimbangkan kembali pendapat yang dianggap lemah (marjuh) menjadi pendapat yang dijadikan pedoman (mu’tamad)
adalah sebuah upaya terobosan terhadap kebekuan fikih di bidang ekonomi
yang selama ini mengalami kemandekan yang cukup lama di tengah hegemoni
teori hukum bisnis atau dagang konvensional. Di sisi lain,
mengembangkan kaidah ini diyakini sebagai sikap yang lebih hati-hati dan
terukur secara ilmiah di banding pendapat yang bersikap longgar dalam
menetapkan hukum dengan alasan al-ashlu fi al-asya’ al-ibahah (hukum asal segala sesuatu itu boleh), adanya maslahat atau hâjah (kebutuhan mendesak). Teori
ini merupakan jalan tengah di antara pemikiran sebagian pakar ekonomi
Islam yang terlalu longgar dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum
ekonomi Islam, sehingga ekonomi Islam terjebak pada labeling.
Sebaliknya, dengan teori ini pengembangan ekonomi Islam tidak terlalu
ketat dan terikat dalam kaidah-kaidah dan pemikiran fikih klasik yang
mungkin sulit diaplikasikan kembali pada era sekarang.
Dasar teori i’adah al-nadhar tersebut adalah kaidah: al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman, hukum itu berjalan sesuai dengan ‘illah-nya, ada dan tidak adanya (‘illah).[36] Sejalan dengan kaidah ini adalah kaidah: idzâ zâlat al-‘illah zal al-hukm, jika ‘illah hukum hilang, maka hilang pula hukum. Kedua kaidah ini penting dalam menjelaskan hubungan antara hukum dengan ‘illah-nya, apakah ‘illah tersebut ada atau tidak, karena asal hukum senantiasa dilatar belakangi oleh ‘illah. Kaidah ini adalah teori besar (grand theory) yang mencakup seluruh hukum Islam, karena ‘illah hukum adalah hikmah syar’i adanya perintah dan larangan. Terkadang ‘illah hukum tersebut telah dijelaskan oleh syari’ (manshush), dan terkadang tidak dijelaskan (ghair manshush). Dalam hal ‘illah hukum yang tidak dijelaskan (ghair manshush), para ulama yang menyimpulkan dengan didasarkan kepada tujuan hukum (maqashid al-syariah) dan kemashlahatan.
Contoh
penerapan kaidah dalam permasalahan ekonomi antara lain soal posisi
wakil dalam akad sewa menyewa, dimana wakil boleh menyewa benda yang
dipercayakan kepadanya untuk disewakan. Pendapat ini bertentangan dengan
pendapat mayoritas (jumhur) ulama setelah melakukan telaah ulang (i’adatun nadhar) terhadap illah hukum yang ada. Pendapat jumhur ini tidak memperbolehkan wakil untuk menyewa benda yang diserahkan kepadanya -yang semula untuk disewakan kepada orang lain- karena adanya tuhmah (diduga kuat ada kebohongan) dari wakil sehingga dapat merugikan si pemilik. Namun setelah dilakukan telaah ulang terhadap illah hukum tersebut, maka illah
itu akan hilang bila si pemilik memberikan tarif yang jelas terhadap
harta benda yang akan disewakan kepada wakilnya, lalu si wakil
menyepakati tarif tersebut dan kemudian ia menyewa sendiri harta benda
tersebut. Contoh lain adalah kebolehan kafalah bil ujrah
(pertanggungan dengan upah) dengan menyandarkan kepada pendapat sebagian
kecil ulama yang berbeda dengan jumhur ulama yang melarangnya.
Berdasarkan hal tersebut, Letter of Credit
yang mana penjamin menerima upah dibolehkan dalam fatwa DSN MUI Tahun
2009. Pada dasarnya Letter of Credit (L/C) yang berisi ketetapan bahwa
bank berjanji kepada eksportir untuk membayar haknya (eksportir) atas
importir adalah boleh. Upah yang diterima oleh bank sebagai imbalan atas
penerbitan L/C adalah boleh. Hukum “boleh” ini didasarkan pada
karakteristik muamalah L/C tersebut yang berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman (kafalah). Hukum wakalah dengan imbalan (fee) adalah boleh (tidak haram); demikian juga hawalah dengan imbalan. Adapun hukum dhaman (kafalah) dengan imbalan yang disandarkan pada jasa jah (dignity, kewibawaan) menurut mazhab Syafi’i boleh, walaupun menurut beberapa pendapat yang lain hukumnya haram atau makruh.
Demikianlah beberapa contoh yang dikemukan dalam penerapan kaidah telaah ulang (i’adatun nadhar)
sebagai salah satu terobosan dan solusi dalam menjawab berbagai
permasalahan ekonomi kontemporer, sejalan dengan modernitas namun tetap
di dalam kerangka prinsip-prinsip fikih. Dengan kata lain, konsep i’adatun nadhar
merupakan salah satu “jembatan” yang menghubungkan antara teori ekonomi
Islam yang telah dikaji oleh ulama madzhab fikih klasik dalam konteks
transaksi ekonomi kontemporer.
3. Akomodasi Fatwa dalam Peraturan Perundangan (Taqnin Al-Fatwa)
Sebagaimana disebutkan di atas,
gerakan ekonomi syariah telah melahirkan sejumlah lembaga baru di
pemerintahan dan sejumlah peraturan perundangan. Lahirnya Direktorat
Perbankan Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di
Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Bapepam merupakan bukti nyata
dari hasil gerakan tersebut. Selain itu lahir pula sejumlah
undang-undang terkait dengan ekonomi syariah, misalnya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan
peraturan-peraturan lainnya.
Semua
pencapaian tersebut tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi melalui proses
yang panjang dengan berbagai strategi dan langkah-langkah sistematis.
Dan yang patut digarisbawahi adalah, bahwa
sampai dengan pencapaian saat ini semuanya dilakukan melalui proses
yang demokratis, konstitusional, dan yang terpenting tanpa menimbulkan
kegaduhan. Hal yang terakhir ini patut untuk dicatat, karena selama ini
masyarakat di Indonesia seakan mengalami phobia dan alergi terhadap apa
yang “berbau” syariah; sehingga
ia harus dijauhkan dari hukum positif di negeri ini. Upaya penerapan
dan penyerapan ajaran Islam ke dalam hukum positif —sekalipun diniatkan
sebagai upaya penjaminan kebebasan beragama umat Islam dalam menjalankan
keyakinannya— selalu saja dicurigai sebagai upaya mengganti sistem negara ini menjadi negara Islam.
Namun hal tersebut
tidak terjadi di bidang ekonomi syariah, di mana proses penyerapan
ajaran Islam ke dalam hukum positif berjalan mulus tanpa adanya gejolak
yang berarti. Tentu saja, hal ini merupakan buah dari konsistensi dan
kerja keras berbagai pihak dalam meyakinkan penentu kebijakan dan
pihak-pihak terkait lainnya. Pendorong semua proses sampai pencapaian
ini adalah fatwa yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN)
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penerapan fatwa-fatwa yang telah dibuat oleh DSN-MUI tentu saja tidak akan berlaku efektif dalam aktifitas Lembaga Keuangan Syariah tanpa adanya regulasi yang dibuat oleh regulator yang berwenang terhadap fatwa dimaksud.
Secara teoritis, qanun
merupakan produk dinamika hubungan Islam dengan negara sebagaimana
dijelaskan oleh al-Mawardi dan Abu Ya‘la. Dalam konteks sejarahnya, pemikian hukum Islam dibedakan menjadi empat: (1) fikih, yaitu produk pemikiran ulama terhadap Quran-Sunnah yang menggunakan metode yang disebut ijtihad; (2) fatwa, yaitu produk pemikiran ulama yang menghubungkan antara persoalan hukum (waqi‘) yang dihadapi umat hubungannya dengan teks Quran-sunah serta pemahaman ulama/fikih; (3) qanun, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibuat dan diberlakukan oleh suatu negara; dan (4) qadha, yaitu keputusan hakim di pengadilan atas sengketa masyarakat yang diajukan kepadanya.[37]
Qanun adalah hasil dari
positivasi hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis. Fikih dan fatwa
(antara lain fatwa DSN-MUI) dalam konteks keindonesiaan termasuk hukum
tidak tertulis; namun ia bisa dikembangkan oleh pihak-pihak regulator
menjadi hukum tertulis karena kewenangan istimewa yang dimilikinya (asas
deskresi) berdasarkan peraturan perundangan. Proses pengubahan fikih dan fatwa menjadi qanun atau undang-undang/peraturan disebut taqnin.[38] Proses taqnin yang dimaksud mencakup: (1) pembentukan peraturan perundang-undangan yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum; (2) penelitian atau pengkajian hukum yang dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan perundang-undangan; dan 3) pengundangan/penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, dan Tambahan Berita Negara.
Upaya-upaya untuk melakukan taqnin sebenarnya telah dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim pada awal tahun 1990.
Lokakarya MUI pada tanggal 22-25 Maret 1990 mengamanatkan untuk
membentuk kelompok kerja guna mendirikan Bank Islam di Indonesia, dengan nama Tim Perbankan MUI. Pada tanggal 1 November 1991, tim ini menandatangani akta pendirian bank yang pertama sekali
menggunakan sistem tanpa bunga. Usaha tersebut kemudian mendapat respon
positif dari pihak eksekutif dan legislatif dengan terbentuknya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memuat aturan
atau telah mengakomodasi dimungkinkannya kegiatan usaha perbankan dengan
menggunakan prinsip syariah yang disebut dengan istilah bagi hasil
(pasal 6 huruf m, dan pasal 13 huruf c).
Pada tahun yang sama pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Lembaran Negara 1992/119, dan
Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaga Negara Nomor 3505). Dalam PP
Nomor 72 Tahun 1992 pasal 1 tersebut, ditetapkan bahwa bank berdasarkan
prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (ayat 1) yang
dibentuk atas dasar konsultasi dengan ulama (ayat 2), dan ulama yang
dimaksud adalah MUI (penjelasan pasal 5 ayat 2). Proses pembentukan
regulasi yang memberikan kepastian hukum atas penerapan konsep mu’amalah
syar’iyyah terus berjalan. Enam tahun setelah terbitnya undang-undang
No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, terbit UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Secara jelas UU ini mengakomodasi dual banking system di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dan perbankan syariah.
Upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam menjadi semakin bergulir dengan terbentuknya Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Pendirian DSN-MUI ini merupakan
amanat dari rekomendasi hasil Lokakarya Ulama tentang Reksa Dana
Syariah pada pertengahan Juli 1997, sehingga pada tanggal 10 Pebruari
1999 DSN-MUI terbentuk berdasarkan SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-754. Konsistensi dan perjuangan keras
yang dilakukan oleh para ulama agar peraturan perundangan terkait
dengan ekonomi syariah menyerap dan mengakomodasi fatwa semakin kuat, yakni melalui legislasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 25 UU tentang SBSN tersebut menyatakan: ”Dalam
rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa atau pernyataan
kesesuaian SBSN terhadap prinsip-prinsip syariah dari lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. Pasal ini kemudian diberi penjelasan: ”Yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah”. Pasal 26 UU tentang Perbankan Syariah menyatakan: “(1)
Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal
21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip
Syariah. (2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.”
Hubungan
yang baik yang terjalin antara Bank Indonesia dan DSN-MUI telah
menghasilkan banyak Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengadopsi dan
mengharmonisasi fatwa-fatwa DSN-MUI. Oleh karea itu, dapat dikatakan bahwa taqnin al-ahkam telah berlangsung dengan baik pada sektor perbankan. Dalam perkembangannya, proses
akomodasi atas penerapan prinsip syariah dalam bidang ekonomi dalam
undang-undang maupun peraturan pemerintah tidak hanya terbatas pada
sektor perbankan saja. Sektor-sektor asuransi, pasar modal dan
pembiayaan juga telah terakomodasi dalam peraturan yang dibuat oleh
pemerintah.
Dalam
sektor pasar modal, fatwa-fatwa DSN-MUI telah terakomodasi dengan baik
melalui 3 (tiga) Peraturan Bapepam dan LK , yaitu Peraturan No. IX.A.13
tentang Penerbitan Efek Syariah dan Peraturan No. IX.A.14 tentang
Akad-akad Yang Digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal
yang keduanya dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 2006 serta Peraturan
No. II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah yang
dikeluarkan pada tanggal 31 Agustus 2007. Ketiga peraturan yang
dikeluarkan oleh Bapepam dan LK tersebut secara jelas mengadopsi dua
fatwa DSN-MUI, yaitu Fatwa DSN-MUI No. 20 tentang Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk Reksa Dana Syariah dan Fatwa DSN-MUI No. 40 tentang
Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Perkembangan taqnin al-ahkam
juga terakomodasi dengan baik pada sektor asuransi. Menteri Keuangan
mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 18/PMK.010/2010
tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha
Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Sedangkan pada sektor lembaga
pembiayaan juga telah dikeluakan 2 (dua) Peraturan Ketua Bapepam dan LK,
yaitu No. PER-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan No. PER-04/BL/2007 tentang
Akad-Akad yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan
untuk sektor asuransi syariah dan pembiayaan syariah tentu saja
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam fatwa-fatwa
DSN-MUI yang terkait dengan sektor asuransi dan pembiayaan.
Upaya taqnin al-ahkam
yang dilakukan oleh DSN-MUI melalui pendekatan persuasif maupun
pendekatan politik telah menghasilkan 2 (dua) undang-undang yang terkait
dengan mu’amalah iqtishodiyyah, yaitu Undang-undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara yang disahkan pada tanggal 7 Mei 2008 dan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada tanggal 16 Juli 2008. Kedua undang-undang ini merupakan kontribusi terbesar yang telah dihasilkan oleh DSN-MUI bersama dengan para stake holder ekonomi syariah lainnya.
Terkait dengan semua proses taqnin al-ahkam tersebut,
perlu adanya suatu lembaga pengadilan yang dapat mengakomodasi
permasalahan-permasalahan yang akan terjadi dalam perikatan yang
dilakukan oleh masyarakat dalam mualamah berdasarkan prinsip syariah. Taqnin al-ahkam yang
dilakukan kurang lengkap sekiranya tidak terdapat lembaga pengadilan
sebagai wadah penyelesaian sengketa berdasarkan prinsip syariah. UU
No. 3 Tahun 2006 yang merupakan perubahan atas Undang-undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memasukkan tugas dan wewenang
Pengadilan Agama dalam memutus dan menyelesaikan perkara di bidang
ekonomi syariah. Penjelasan tentang bidang ekonomi syariah dalam
undang-undang ini mencakup semua sektor keuangan syariah, yaitu bank
syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi dan reasuransi
syariah, reksa dana syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah
termasuk juga dana pensiun syariah dan bisnis syariah.
4. Pengawasan Pelaksanaan Fatwa (Muraqabah Tathbiq Al-Fatwa)
Sebagai konsekuensi akomodasi
fatwa dalam peraturan perundangan yang mengikat bagi setiap lembaga
keuangan syariah, diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaannya.
Pengawasan dimaksud dilakukan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang
merupakan perpanjangan tangan dari DSN-MUI untuk memastikan
dilaksanakannya fatwa oleh lembaga keuangan syariah. DPS bukan
hanya melakukan pengawasan aspek syar’i secara periodik di LKS, tetapi
juga mengajukan usul-usul pengembangan LKS kepada pimpinan LKS dan
DSN-MUI, serta merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan di
DSN-MUI. Oleh karena itu, DPS ini terdiri atas para pakar di
bidang hukum ekonomi syariah yang tidak saja mengetahui secara mendalam
fatwa-fatwa DSN-MUI, tetapi juga peraturan perundangan terkait dengan lingkup kerjanya. Untuk memastikan hal ini, DSN-MUI berkewajiban memberikan rekomendasi calon DPS setelah dilakukan silaturrahim yang isinya merupakan semacam fit and proper test bagi para calon DPS, terutama di bidang syariah muamalah yang terkait langsung dengan produk dan operasional LKS.
DSN-MUI
berkepentingan untuk merekomendasikan calon-calon DPS yang memiliki
kualifikasi untuk melakukan pengawasan di LKS, karena DPS menurut UU
Perseroan Terbatas dan Perbankan Syariah diposisikan setara dengan Dewan
Pengawas/Komisaris. Perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di
Indonesia telah membuat posisi DPS sangat dibutuhkan dan tentu saja
harus diikuti dengan peningkatan kulifikasi DPS dalam menjawab tantangan
industri keuangan syariah. Oleh
karena itu, DPS dituntut senantiasa mengembangkan keilmuan, pengalaman,
pemahaman dan penghayatan di bidang ekonomi dan keuangan syariah. Dalam koteks ini, DSN-MUI
senantiasa berupaya mendorong pengembangan keilmuan, pengalaman,
pemahaman dan penghayatan di bidang ekonomi dan keuangan syariah para
DPS yang direkomendasikan. Untuk itu DSN-MUI melakukan sertifikasi para
DPS, yang meliputi:
Pertama, peningkatan pemahaman DPS terhadap fatwa DSN-MUI. Fatwa DSN-MUI terus bertambah seiring dengan upaya-upaya DSN-MUI untuk menjawab tantangan industri dengan fatwa yang dipositivisasi oleh regulator (BI dan Kemenkeu RI). Oleh karenanya, selain upgrading pemahaman DPS, dalam prosesnya perlu dilakukan updating pemahaman DPS atas fatwa-fatwa baru. Upgrading dan updating pemahaman DPS terhadap fatwa DSN MUI dilakukan dalam sertifikasi DPS dan ijtima’ DSN dan DPS setiap tahun dalam dua event berbeda. Kedua, peningkatan pemahaman DPS terhadap peraturan perundangan mutakhir. Fatwa DSN-MUI senantiasa dipositivisasi oleh regulator, karena banyak fatwa dibuat DSN-MUI dengan mustafti regulator. Untuk itu, DPS juga perlu mengalami upgrade pemahaman atas peraturan perundangan yang terus berkembang dari positivisasi fatwa DSN-MUI. Dalam hal ini, sertifikasi DPS dan ijtima’ DSN dan DPS senantiasa melibatkan regulator sebagai narasumber.
Ketiga, peningkatan kemampuan DPS dalam memahami laporan LKS. DPS melakukan pengawasan secara periodik di setiap
LKS, dan salah satu yang dibutuhkan dalam melakukan pengawasan adalah
kemampuan dalam memahami laporan LKS. Tentu saja, karena syarat utama
menjadi DPS adalah pemahaman syariah muamalah, maka upgrading
kemampuan DPS dalam memahami laporan LKS harus dikembangkan. Hal ini
dilakukan DSN-MUI melalui sertifikasi DPS yang memasukkan unsur-unsur
pemahaman atas laporan keuangan LKS dikaitkan dengan pemeriksaan DPS
terhadap LKS dalam rangka pengawasan yang memadai. Keempat, peningkatan kemampuan
DPS dalam membuat laporan kinerjanya. Bukti bahwa DPS melakukan
pengawasan adalah kertas kerja dan laporan DPS atas kinerja LKS yang menyangkut kesyariahan. Untuk dapat menghasilkan kertas kerja dan laporan DPS yang accountable, upgrade kemampuan DPS dalam membuat laporan kinerjanya diperlukan, dan hal ini secara spesifik dikembangkan dalam sertifikasi DPS.
5. Penyelesaian Sengketa (Tahkim)
Transaksi
yang dilakukan di lembaga keuangan syariah, baik bank atau non bank,
diikat melalui sebuah kontrak perjanjian yang isinya sesuai dengan fatwa
DSN-MUI yang telah diregulasi oleh lembaga regulator. Dalam pelaksanaan
kontrak tersebut, bisa jadi muncul perbedaan pendapat, baik dalam
penafsiran maupun implementasi isi kontrak, sehingga hal ini bisa
menimbulkan sengketa di antara para fihak. Sebagai antisipasi munculnya
persengketaan tersebut, pada tahun 1993 didirikanlah Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
bekerjasama dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yang kemudian
pada tahun 2002 diubah namanya menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS).
Arbitrase ini merupakan
institusi penyelesaian sengketa dengan jalur nonlitigasi, yang
diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, dan
sebaik-baiknya. Arti penting penyelesaian sengketa melalui arbitrase
adalah bahwa cara ini
tidak mengganggu suasana bisnis pihak-pihak yang bersengketa serta
terjaminnya relasi bisnis pihak-pihak karena penegakan prinsip
kerahasiaan. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dijelaskan,
bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[39]
Selain jalur nonlitigasi, penyelesaian perselisihan bisnis syariah melalui jalur litigasi juga telah diatur dalam dua undang-undang. Pertama, Undang-Undang Nomor: 50 Tahun 2009, di mana dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di berbagai bidang, antara lain di bidang ekonomi syri'ah. Kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah;
yang di dalamnya ditetapkan bahwa: (1) penyelesaian sengketa perbankan
syari'ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, ( 2) dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di Peradilan Agama, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad, dan (3) penyelesaian sengketa selain di Peradilan Agama tidak boleh bertentangan dengan prinsip syari'ah.
Khatimah
Uraian
di atas dapat disimpulkan, bahwa gerakan ekonomi syariah di Indonesia
telah menampakkan hasilnya dan telah melahirkan banyak hal, antara lain:
1. Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai mufti bidang
ekonomi syariah, di mana dalam proses penetapan fatwanya telah banyak
melakukan terobosan-terobosan memecah kebekuan dengan melakukan
pembaruan hukum ekonomi syariah.
2. Sejumlah
lembaga baru di pemerintahan misalnya Direktorat Perbankan Syariah di
Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di Departemen Keuangan,
dan berbagai biro di Bapepam.
3. Sejumlah peraturan perundangan, misalnya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai
Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan
lainnya.
4. Sejumlah Lembaga Keuangan Syariah, baik bank ataupun non bank.
5. Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan komunitas
lainnya sebagai perkumpulan masyarakat madani yang melakukan tekanan
terhadap pengambil keputusan di negeri ini.
Semua
pencapaian tersebut tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi melalui proses
panjang dengan berbagai strategi dan langkah-langkah sistematis yang
dilakukan oleh berbagai pihak. Saya bersyukur kepada Allah, bahwa dapat
menjadi bagian dari proses ini. Dengan keterbatasan yang ada, saya
berusaha memberikan sumbangsih semampu saya terhadap proses tersebut.
Semua itu tidak lain sebagai pengabdian saya kepada agama dan negara
ini. Bahwa kemudian ada yang mengapresiasi sumbangsih saya tersebut
dengan memberikan gelar doktor kehormatan, maka semoga itu menjadi
cambuk bagi saya untuk berusaha lebih optimal lagi dalam memberikan
kontribusi dalam proses akselerasi pengembangan ekonomi syariah di
negeri ini.
Jakarta, Maret 2012.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah Baswedan, Sab’ah Mufidah.
2. Abdullah Ibn Sulaiman al-Jarhazi, Al-Mawahib as-Saniyha ‘Ala Syarhu al-Faraidh al-Bahiyyah Nadhm al-Qowaid al-Fiqhiyah, (Kairo: Dar al-Salam, 2006).
3. Abd al-Majid Jumah al-Jazairy, Qawaid al-Fiqhiyyah, (t.t: dar Ibn Qayyim, t.th.).
4. Abd al-Azhim Jalal Buzed, Fiqh al-Riba: Dirasah Muqaranah wa Syamilah li al-Tathbiqat al-Mu’ashirah (Mu’assah al-Risalah. 2004).
5. Abd al-Rahman Abd al-Aziz al-Qasim, Al-Islam wa Taqnin al-Ahkam: Da’wah mukhlashah li Taqnin Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah (Kairo: Jami’ah Qahirah. 1977).
6. Abi al-Fath Muhammad Abd al-Karim Ibn Abi Bakr al-Syahristani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr. t.th).
7. Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Maktabah Syamilah, Juz 11).
8. Ad-Dimyati al-Bakri, I’anah at-Thalibin (Surabaya: al-Hidayah, tt).
9. Ahmad Ibn Abd Allah Ibn Muhammad al-Dhuwaihi, Dhawabith al-Ijtihad fi al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah (Saudi Arabia: Jami’ah Imam Muhammad Ibn sa’ud al-Islamiyah. t.th).
10. Al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, (Maktabah Syamilah, Juz 1).
11. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, (Maktabah Syamilah, juz 19).
12. Ali Ahmad al-Nadawi, Maushuah al-Qawaid wa al-Dhawabith al-Fiqhiyyah (tt.: Dar Alam al-Ma’rifah, 1999), juz I.
13. Ali Jumu’ah, Shina’ah al-Ifta, (Kairo: Nahdhah Mishr, 2008).
14. Al-Qarafi, Al-Furuq, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt).
15. As-Suyuthi, Al-Asbah wa al-Nadzair, (Kairo: Dar al-Salam, 2006), cet. ke-3, juz I.
16. At-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz 19.
17. Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Iskandariyyah: Dar al-Aiman, 2007).
18. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa, (Jakarta: Pustaka DSN-MUI, 2006).
19. Fathi Utsmani, Al-Fikr al-Qanuni al-Islami baina Ushul al-Syari’ah wa Turats al-Fiqh (kairo: Maktabah Wahbah. t.th).
20. Ibnu taymiyah, Fatawa Ibn Taimiyyah, (Kairo, Maktabah Ibnu Taymiyah, tt).
21. Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in Rabb ‘an Rabb al’Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), ditahqiq oleh ‘Abd al-Rahman al-Wakil.
22. Isa Dhaif Allah al-Manshur, Nzhariyyat al-Arbah fi al-Masharif al-Islamiyyah: Dirasah Muqaranah (Aman: Dar al-Nafa’is. 2007).
23. Jamal al-Bana, Nahw Fiqh Jadid, (Kairo: Dar al-Fikr al-Islami. t.th), hlm. 20.
24. Kamil Musa, Al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Mu’assasah al-Risalah. 1989).
25. Kamil Shukr al-Qisi, Ma’ayir al-Ribh wa Dhawabithuh fi al-Tasyri’ al-Islami (Dubai: Da’irah al-Syu’un al-Islamiyyah. 2008).
26. Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008).
27. Marzuki Usman et. all, Bungai Rampai Reksadana, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), cet. ke-1.
28. M. Atho Mudzhar, ”Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. 1994).
29. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi. t.th)
30. Muhammad al-Amin al-Dharir, Al-Gharar wa Atsaruhu fi al-‘Uqud fi al-Fiqh al-Islami (Jedah: Silisilah Shalih Kamil li al-Wasa’il al-jami’ah fi al-Iqtishadh al-Islami. 1990).
31. Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’at al-Fiqh al-Ijtihadi (t.t: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah. 1970).
32. Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz li Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyat al-Kuliyyat (Riyadh: Mu’assasah al-Risalah. 1983).
33. Mushthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr. 1968).
34. Mushthafa Zaid, Al-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi. 1964).
35. Nawawi al-Bantani, Nihayah Az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadi-in. (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008).
36. Sa’id Ibn Nashir Ibn Abd al-Aziz al-Syatsiri, Al-Qath’u wa al-Zhannu ‘inda al-Ushuliyyin: Haqiqatuhuma wa Thuruquha wa Istifidatuhuma wa Ahkamuhuma (Riyadh: Dar al-Habib. 1997).
37. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan
Petani Banten Tahun 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya:
Sebuah Study kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
38. Subhi Mahmashshani, Falasafat al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Miliyin. 1961).
39. Syamsiah binti Muhammad Isma’il, Al-Ribh fi al-Fiqh al-Islami: Dhawabithuh wa Tahdiduh fi al-Mu’assasat al-Maliyah al-Mu’ashirah (Amman: Dar al-Nafa’is. 2000).
40. Sya’ban Muhammad Isma’il, Al-Tasyri’ al-Islami: Mashadiruh wa Athwaruh (Mesir: Maktabah nahdhah. 1985).
41. Undang-Undang No.30 Tahun 1999, pasal. 1.
42. Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, Nazhariyyat al-Gharar fi al-Syari’ah al-Islamiyah: Dirasah Muqaranah (Kairo: Jami’ah al-Azhar. t.th)
43. Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1410 H/1989M).
44. Yusuf al-Qardhawi, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiyah (Kairo: Maktabah Wahbah. 2001).
45. Zafar Ishaq Anshori, dalam pengantar buku Islam dan Pembangunan Ekonomi, karya DR, M. Umer Chapra, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2000) Alih bahasa Ikhwan Abidin Basri.
[1] Lihat al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala as-shahihain, (tt. maktabah syamilah, t.th), juz 19, hlm, 496. Lihat at-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir, (tt, Maktabah Syamilah, t.th), juz 19, hlm 437. Lihat: al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa al-atsar, (tt. Maktabah Syamilah, t.th), juz 1, hlm 121. Lihat: Abu Daud, Sunan Abi Daud, (tt. Maktabah Syamilah, t.th), juz 11, hlm 362
[2] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan
Petani Banten Tahun 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya:
Sebuah Study kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
[3] Zafar Ishaq Anshori, dalam pengantar buku Islam dan Pembangunan Ekonomi, karya DR, M. Umer Chapra, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2000) Alih bahasa Ikhwan Abidin Basri, hlm. xvi
[4] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in Rabb ‘an Rabb al’Alamin (Beirut: Dar al-Fikr. t. th.), ditahqiq oleh ‘Abd al-Rahman al-Wakil, vol. III, hlm. 4; Ali Ahmad al-Nadawi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyat: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha, Dirasat Mu’alifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tatbiqatuha (Damaskus: Dar al-Qalam. 1994), hlm. 158; Subhi Mahmashshani, Falasafat al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Miliyin. 1961), hlm. 198; Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz li Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyat al-Kuliyyat (Riyadh: Mu’assasah al-Risalah. 1983), hlm. 182. Mushthafa Ahmad al-Zarqa menjelaskan bahwa hukum yang berubah adalah (??????? ?????????? ?? ?????? ??????). Lihat Mushthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr. 1968), hlm. 924.
[5] Abi al-Fath Muhammad Abd al-Karim Ibn Abi Bakr al-Syahristani, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr. t.th), hlm. 200.
[6] Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1410 H/1989M), hlm. 128.
[7] Pembaharuan (baca: tajdid)
merupakan terminologi yang dimunculkan dalam sejarah hukum Islam
sebagai anti tesis dari sikap jumud yang antara lain disebabkan oleh:
(1) kuatnya ajakan untuk mengikuti madzhab fikih tertentu, (2) ulama
yang saling menghasut dan berdebat kusir (tajadul), (3) rusaknya sistem pendidikan, dan (4) lemahnya daulah Islam. Lihat Sya’ban Muhammad Isma’il, Al-Tasyri’ al-Islami: Mashadiruh wa Athwaruh (Mesir: Maktabah nahdhah. 1985), hlm. 374-376.
[8] Al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in,
[9] Kamil Musa, Al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Mu’assasah al-Risalah. 1989), hlm. 107.
[10] Penjelasan mengenai fatwa antara lain dapat dilihat dalam Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi. t.th), hlm. 400-406.
[11]
Secara implisit dapat dilihat dalam Surat Keputusan Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 tentang Pedoman
Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Lihat juga Ali Jumu’ah, shina’ah al-ifta, (kairo: nahdhah mishr, 2008), hlm. 7
[12] Ali Jumu’ah, Shina’ah al-Ifta, (kairo: nahdhah mishr, 2008), hlm. 10
[13] Ali Jumu’ah, Shina’ah al-Ifta, hlm. 10
[14] Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm 281
[15] Lihat antara lain Mushthafa Zaid, Al-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi. 1964), 19-20; dan Yusuf al-Qardhawi, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiyah (Kairo: Maktabah Wahbah. 2001), hlm. 56-67.
[16] Mushtafa Ahmad al-Zarqa, Al-Uqud al-Musammah fi al-Fiqh al-Islami: ‘Aqd al-Bai’ (Damaskus: Dar al-Qalam. 1999), hlm. 36.
[17] Lihat antara lain Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, Nazhariyyat al-Gharar fi al-Syari’ah al-Islamiyah: Dirasah Muqaranah (Kairo: Jami’ah al-Azhar. t.th), I, hlm. 69-87; dan Muhammad al-Amin al-Dharir, Al-Gharar wa Atsaruhu fi al-‘Uqud fi al-Fiqh al-Islami (Jedah: Silisilah Shalih Kamil li al-Wasa’il al-jami’ah fi al-Iqtishadh al-Islami. 1990).
[18] Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa maaqashid al-syari’ah adalah rahmah dan adil. Lihat Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 364-366.
[19] Abd al-Azhim Jalal Buzed, Fiqh al-Riba: Dirasah Muqaranah wa Syamilah li al-Tathbiqat al-Mu’ashirah (Mu’assah al-Risalah. 2004), hlm. 20-24.
[20] Lihat antara lain Isa Dhaif Allah al-Manshur, Nzhariyyat al-Arbah fi al-Masharif al-Islamiyyah: Dirasah Muqaranah (Aman: Dar al-Nafa’is. 2007); Kamil Shukr al-Qisi, Ma’ayir al-Ribh wa Dhawabithuh fi al-Tasyri’ al-Islami (Dubai: Da’irah al-Syu’un al-Islamiyyah. 2008); dan Syamsiah binti Muhammad Isma’il al-Ribh fi al-Fiqh al-Islami: Dhawabithuh wa Tahdiduh fi al-Mu’assasat al-Maliyah al-Mu’ashirah (Amman: Dar al-Nafa’is. 2000).
[21] Jamal al-Bana menjelaskan trilogi dasar tajdid penetapan hukum: (1) halal, (2) haram, dan (3) afw/pemaafan; lihat Jamal al-Bana, Nahw Fiqh Jadid, (Kairo: Dar al-Fikr al-Islami. t.th), hlm. 20.
[22] Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1410 H/1989M)
[23]
Pembahasan mengenai qath’i dan zhanni secara lebih rinci antara lain
dapat dilihat dalam Sa’id Ibn Nashir Ibn Abd al-Aziz al-Syatsiri, Al-Qath’u wa al-Zhannu ‘inda al-Ushuliyyin: Haqiqatuhuma wa Thuruquha wa Istifidatuhuma wa Ahkamuhuma (Riyadh: Dar al-Habib. 1997).
[24] Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa, (Jakarta: Pustaka DSN-MUI, 2006)
[25] Ahmad Ibn Abd Allah Ibn Muhammad al-Dhuwaihi, Dhawabith al-Ijtihad fi al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah (Saudi Arabia: Jami’ah Imam Muhammad Ibn sa’ud al-Islamiyah. t.th), hlm. 48-49.
[26] Lihat al-Qrafi, Al-Furuq, (Beirut: dar al-ma’rifah, tt). Lihat Abdullah Baswedan, Sab’ah Mufidah. Lihat Syaikh Nawawi al-Bantani, Nihayah Az-Zain (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008), hlm. 11
[27]
Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor:
U-596/MUI/X/1997 tentang Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia.
[28] Lihat ad-Dimyati al-Bakri, I’anah at-Thalibin (Surabaya: al-Hidayah, tt).
[30] Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’at al-Fiqh al-Ijtihadi (t.t: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah. 1970), hlm. 107-108.
[31] Lihat al-Suyuthi, Al-Asbah wa al-Nadzair, (Kairo: Dar al-Salam, 2006), cet. ke-3, juz I, hlm. 254.
[33]. Lihat Ali Ahmad al-Nadawi, Maushu’ah al-Qawaid wa al-Dhawabith al-Fiqhiyyah (tt.: Dar Alam al-Ma’rifah, 1999), juz I, hlm.344. Bandingkan dengan Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Iskandariyyah: Dar al-Aiman, 2007), hlm. 279; dan Abd al-Majid Jumah al-Jazairy, Qawaid al-Fiqhiyyah, (t.t: dar Ibn Qayyim, t.th.), hlm. 402.
[34] As-suyuti, Al-asybah Wa Nadhairiha, 269
[35]. Marzuki Usman et. all, Bungai Rampai Reksadana, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), cet. ke-1, hlm. 17.
[36]. Ali Ahmad al-Nadawi, Mausu’ah al-Qawaid wa al-Dhawabith al-Fiqhiyyah (tt.: Dar Alam al-Ma’rifah, 1999), juz I, hlm. 395.
[37] M. Atho Mudzhar, ”Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. 1994), hlm. 369-370.
[38] Lihat antara lain Fathi Utsmani, Al-Fikr al-Qanuni al-Islami baina Ushul al-Syari’ah wa Turats al-Fiqh (kairo: Maktabah Wahbah. t.th); dan Abd al-Rahman Abd al-Aziz al-Qasim, Al-Islam wa Taqnin al-Ahkam: Da’wah mukhlashah li Taqnin Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah (Kairo: Jami’ah Qahirah. 1977).
[39] Undang-Undang No.30 Tahun 1999, pasal. 1.
0 komentar:
Post a Comment