Oleh: Fahmi Salim, MA.
Para hakim, jaksa dan polisi penyidik (yang istikamah) pasti merasakan sulitnya memberantas korupsi di negeri ini. Dalam dakwaan tipikor, seorang terdakwa baru dinyatakan bersalah apabila oleh hakim berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan telah ditetapkan terbukti melakukan korupsi. Ajaran Islam terkait penegakan hukum pun meng-endorse pendakwa untuk menghadirkan alat bukti (al-Bayyinah) dan mempersilakan terdakwa bersumpah (al-Yamin) jika ia menolak dakwaan tersebut (HR. al-Bayhaqi).
Namun untuk melacak dan mencari alat-alat bukti tipikor bukanlah pekerjaan yang mudah. Boleh jadi karena sudah terlalu lamanya perbuatan itu dilakukan sehingga sebagian atau seluruh alat-alat bukti telah tiada, atau sengaja dihilangkan oleh terdakwa untuk menutupi kejahatannya, atau faktor bencana alam yang berakibat musnahnya alat bukti. Padahal, atas dasar asas praduga tak bersalah, jika tidak dapat diajukan bukti-bukti yang meyakinkan, terdakwa tidak dapat divonis dan bebas dari ancaman pidana. Tentu ini akan mengusik rasa keadilan masyarakat. Bagaimana perspektif al-Qur’an tentang dilema keadilan ini?
Tidak seperti kisah para nabi lainnya yang bertebaran dan berulang di dalam al-Qur’an, kisah Nabi Yusuf diungkap secara runut dan tuntas hanya dalam satu surah saja. Tidak hanya kisah cinta dan pergulatan membela kebenaran, kisah Yusuf juga mengandung pelajaran tak langsung soal langkah pemberantasan korupsi. Mari kita simak ayat-ayat berikut ini: “Yusuf berkata: dia (Zulaikha) menggodaku untuk menundukkan diriku kepadanya. Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: Jika baju gamisnya koyak dimuka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Tapi jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar. Maka tatkala suami wanitu itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, ia pun berkata: sungguh kejadian itu adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu amat besar.” (Q.s. Yusuf: 25-29)
Dari kisah yang disitir oleh al-Qur’an tersebut, dapat diketahui bahwa alat bukti dakwaan Zulaikha terhadap Yusuf adalah letak koyak baju Yusuf; di belakang atau di depan. Terhadap upaya pembuktian tersebut, Yusuf (sebagai terdakwa) berkewajiban untuk menunjukkan letak koyak bajunya. Setelah diketahui bahwa koyak bajunya di bagian belakang, maka dakwaan terhadap Yusuf tidak terbukti, sehingga Yusuf tidak dihukum seperti yang diminta oleh Zulaikha.
Merujuk kisah tersebut, dapat kiranya dikemukakan bahwa Islam juga membenarkan metode pembuktian terbalik, jika penyelidik sulit mencari atau bahkan tidak mendapatkan alat-alat bukti tentang kesalahan (tindak pidana korupsi) yang dilakukan terdakwa.
Dengan metode pembuktian terbalik, terdakwa dituntut untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, antara lain dengan membuktikan asal-usul dari harta yang didakwa diperoleh dengan jalan korupsi. Demikian sekilas ajaran al-Qur’an mengatasi sulitnya pembuktian korupsi. Wallahu a’lam.
Dimuat dalam kolom Hikmah-Republika
0 komentar:
Post a Comment