Oleh: Fahmi Salim, MA.
Akhir-akhir ini kata ‘Bohong’ apalagi dikaitkan dengan ‘Publik’ sangat sensitif dan bisa jadi mengundang kemarahan pihak yang tertuduh melakukannya.
Dusta dan bohong adalah salah satu sifat tercela yang wajib dihindari oleh setiap muslim. Nabi saw bersabda, “Sungguh kejujuran mengantarkan kepada kebajikan dan kebaikan akan mengantarkan kepada surga. Seseorang yang selalu berkata benar (jujur), ia akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu berkata benar. Dan sungguh kebohongan mengantarkan kepada kedurhakaan dan kedurhakaan akan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang selalu berbohong, ia akan selalu ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari-Muslim).
Sedemikian pentingnya berkata benar dan tidak bohong, baik menyangkut urusan personal apalagi publik, Rasul selalu mengaitkannya dengan sikap beragama yang benar. Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw tidak pernah menyampaikan khotbah kepada kami kecuali beliau selalu bersabda: Tidak sempurna iman seseorang yang tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dan tidak sempurna agama seseorang yang tidak bisa menepati janjinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dalam fikih jual-beli, yang ada kontrak antara penjual dan pembeli, dikenal konsep ‘khiyar’ yaitu kebebasan memilih selama keduanya belum berpisah. Rasul pun menjelaskan, “Jika keduanya jujur dan jelas maka jual beli mereka diberkahi, namun jika keduanya menyembunyikan (sesuatu) dan berbohong maka dicabut keberkahan dari kontrak mereka” (HR. Bukhari). Hemat saya, hadis tersebut juga berimplikasi nyata pada konteks politik dan kemaslahatan publik.
Bukankah esensi politik adanya kontrak (bay’at) antara pemilih dalam hal ini rakyat dengan pemimpin yang terpilih? Maka dalam hal ini prinsip ‘khiyar’ pun berlaku dalam konteks relasi kekuasaan. Artinya jika rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak puas dengan kinerja pemimpin yang dipilihnya maka mereka berhak menarik mandat politik si pemimpin selaku mandataris. Sebaliknya, jika pemimpin merasa tidak lagi dipercaya oleh rakyat yang memberinya mandat, maka langkah yang baik adalah mundur dan mengembalikan mandatnya kepada rakyat. Dengan sikap itu diharapkan keberkahan akan selalu menaungi negeri dan bangsa ini.
Jika tak ingin dicabut mandatnya, maka setiap pemimpin mesti memiliki political will untuk memimpin dengan kejujuran, satu kata satu perbuatan. Imam al-Mawardi (w. 450 H), seorang ahli tata Negara Islam, menulis dalam kitab Adabud Dunya wad Din, “Penguasa adalah imam yang diikuti, dan perilakunya harus menjadi contoh yang baik. Jika dia zalim maka jangan harap aparat di bawahnya bisa adil, dan jika dia adil maka tak ada seorang pun aparatnya yang berani zalim. Doa pemimpin saleh adalah doa yang paling mungkin terkabul oleh Allah, dan perbuatan baik yang paling prioritas mendapat pahala adalah putusan pemimpin yang benar dalam mengelola kemaslahatan publik.” Wallahu A’lam.
Dimuat dalam kolom Hikmah-Republika
0 komentar:
Post a Comment