Thursday, October 20, 2011

AL-QUR’AN BERBICARA TENTANG KEANEKARAGAMAN AGAMA


Oleh Fahmi Salim, MA.
Jika kita sebagai umat beriman ingin berbicara tentang sesuatu atau menjelaskan suatu aspek yang bersinggungan dengan ajaran agama baik yang dimunculkan dari kebutuhan internal ataupun yang didesakkan dari komunitas keagamaan di luar kita, maka aksioma keagamaan menuntut umatnya untuk merujuk kepada sumber otentik ajaran Islam yaitu Alquran sebagai marja’iyyah kubro ideal, moral, legal dan pola hidup setiap muslim.



Wahyu Allah SWT yang kekal dan abadi itu sarat sekali dengan sumber inspirasi perilaku keagamaan umat Islam bahkan seluruh umat manusia tanpa kecuali. Bahkan lebih dari itu konsep wahyu dalam bangunan epistemologi Islam dapat memberi eksposisi jelas dan sarat nilai tentang pola hubungan Islam dengan fakta pluralitas agama samawi. Eksposisi itu menyatakan bahwa wahyu adalah Firman Tuhan tentang diri-Nya sendiri, ciptaan-Nya, relasi antara keduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul pilihan-Nya, bukan melalui suara atau aksara, namun semuanya itu telah direpresentasikan dalam bentuk kata-kata, kemudian disampaikan oleh Nabi pada umat manusia dalam bentuk bahasa dengan sifat yang baru namun bisa dipahami, tanpa campur aduk atau confusion dengan subyektifitas dan imajinasi kognitif pribadi nabi. Wahyu ini bersifat final, dan ia (yakni Alquran) tidak hanya menegaskan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya dalam kondisinya yang asli, tapi juga mencakup substansi kitab-kitab sebelumnya, dan sekaligus memisahkan antara kebenaran dan hasil budaya serta produk etnis tertentu.

Finalitas bentuk wahyu yang tercermin dalam Alquran, dengan pengertian semacam itu telah dengan jelas dan tegas menarasikan pola hubungan wahyu final ini dengan wahyu-wahyu sebelumnya. Dan karena agama-agama samawi bersumber dari wahyu Tuhan yang berbentuk corpus (al-Kitab) maka secara tidak langsung pula menjelaskan posisi kitab suci Alquran dengan kitab-kitab sebelumnya. Posisi itu dijelaskan al-Quran sebagai Tashdiq yaitu penegasan atau afirmasi kebenaran wahyu sebelumnya; bahwa setiap Rasul yang diutus dan kitab suci yang diturunkan bersamanya akan membenarkan dan saling menguatkan rasul dan kitab sebelum itu. Piagam “prasasti” (al-Mitsaq) ini telah dibubuhi setiap Nabi bahwa jika datang utusan Tuhan setelahnya yang menegaskan kebenaran risalahnya, maka dia pasti akan mengimani dan menyokong perjuangannya. Yang kedua adalah Haymanah yang dijelaskan oleh para mufasir sebagai memproteksi dan mengamankan wahyu-wahyu sebelumnya itu dari unsur-unsur asing yang ditambahkan secara tidak benar (di antaranya budaya dan produk etnis tertentu) ke dalamnya dan menyatakan secara jujur kebenaran-kebenaran fakta yang dalam jangka waktu yang lama telah disembunyikan.

Alquran telah dengan jelas mengakui kenyataan pluralitas agama, baik yang bersumber dari wahyu maupun yang direkayasa manusia untuk memenuhi hasrat spiritualitasnya. Betapa banyak ayat-ayat Alquran baik yang turun di Makkah maupun Madinah yang menarasikan perkembangan keyakinan yang dipeluk manusia. Khusus dalam rumpun agama Samawi, wahyu yang final itu (yakni Alquran) menggambarkan dengan terang sekali reduksi dan korupsi yang menjangkiti Yahudi maupun Nasrani. Ia menyatakan bahwa para pemuka agama-agama yang telah datang lebih awal khususnya dari tradisi Bibel dinyatakan telah melakukan tahrif (mengubah kalimah dan makna asal kitab suci) , tabdil (mengganti perkataan yang ditanzilkan dengan yang tidak) , layyun (memutar-belitkan isi kitab suci) , tha’n (mencemar agama) , labs (mencampuradukkan yang haq dengan yang batil) , kitman (menyembunyikan tanzil yang haq, bayyinat dan huda khususnya mengenai kebenaran risalah Muhammad saw) dan nisyan (melupakan sebagian isi kitab suci) . Ungkapan-ungkapan yang bagi penulis merupakan urf Alquran yang sangat cermat sekaligus mukjizat ketika mendeskripsikan korupsi wahyu agama.
***

Beberapa kutipan ayat Alquran yang dijadikan sandaran para transendentalis dan penggagas pluralisme agama (sepengetahuan penulis), yang diasumsikan berisi pengakuan bahwa semua agama sama saja, adalah al-Baqarah: 62; al-Maidah: 69 dan al-Hajj: 17.

Dua ayat pertama, jelas sekali redaksi Alquran menyebutkan man amana billahi wal yawmil akhir wa ‘amila sholihan falahum ajruhum inda rabbihim (ayat al-Maidah tidak memakai redaksi ini, tetapi langsung memakai:) wala khawfun alayhim. Inilah yang menggoda para pengkaji ilmu perbandingan agama dan penggagas pluralisme agama, untuk segera mengatakan secara latah bahwa semua agama sama saja, secara transenden sah yang berbeda hanya syari’at eksoterisnya saja.

Sedangkan bagi pengkaji tafsir, pemahaman kedua ayat itu sangat terkait dan disinari oleh konteks ayat-ayat sebelumnya (siyaq dan munasabat). Bagaimana mungkin Allah menyetarakan pengikut Kitab terdahulu yang dalam belasan ayat sebelumnya, perilaku korupsi keagamaan mereka disingkap sebagai “skandal” akidah yang tak dapat diampuni. Kedua ayat tersebut mengingatkan kasih sayang Allah yang senantiasa menginginkan kesalehan mereka dengan menyatakan bahwa masih terbuka pintu taubat, sekaligus mengisyaratkan bahwa kesesatan mereka tidak berlaku bagi para pendahulu seperti sahabat dekat Isa (kaum hawariyyun) atau bekas pemeluk Yahudi dan Nasrani seperti Abdullah ibn Salam dan Shuhayb al-Rumi yang telah mendapat hidayah Islam. Mungkin akan timbul pertanyaan mengapa orang muslim yang nota bene sudah percaya dan meyakini risalah Muhammad saw, juga diikutsertakan dalam urutan ayat tersebut? Bukankah kalau urutan itu hanya menghitung kelompok yang sesat, berarti penyebutan alladzina amanu semakin menguatkan dugaan bahwa semua agama sama saja? Agaknya penanya tadi kurang jeli memahami urf Alquran yang selalu menyertakan kaum beriman (muslim) dalam setiap jenis kebajikan agar mereka menjadi teladan (uswah) sekaligus syuhada’ ala nas. Hal ini misalnya dijumpai dalam firman Allah (berkaitan dengan pelurusan akidah Ahlul Kitab) seperti Lakin al-Rasikhun fil ilmi minhum wal mu’minun dan fain amanu bimitsli ma amantum bihi faqad ihtadaw. (Lihat tafsir Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, vol 1/531-532 penjelasan serupa ditemui dalam vol 4/270) Kiranya dengan eksposisi tadi bahwa kedua ayat tersebut mendukung gagasan semua agama sama saja, sama sekali tidak proporsional.

Demikian pula ayat ke-17 surah al-Hajj, yang mirip dengan kedua ayat di atas, dengan tambahan urutan orang-orang Majusi dan orang-orang Musyrik, al-majusa walladzina asyraku. Anggapan ayat ini mendukung ide semua agama sama saja, lebih ngawur lagi. Sebab bagaimana mungkin akidah tawhid yang Allah sempurnakan dengan Islam yang dibawa oleh Muhammad saw dapat disejajarkan dengan kepercayaan syirk dan penyembahan api yang dilakukan pemeluk majusi?? Mustahil manusia apalagi Allah yang mentanzil Alquran akan menyatukan dua kontradiksi yang sangat tajam, hasya lillah!! Redakasi Alquran yang menyatakan bahwa hanya Allah saja yang akan memutuskan kebenaran di antara kelompok-kelompok tadi, kemungkinan yang menggoda para penggagas untuk kebelet menyatakan asumsi tadi. Ayat ini, masih menurut Ibnu ‘Asyur, ada setelah beberapa ayat yang menarasikan keragu-raguan dan perdebatan orang yang enggan menerima Islam sehingga membuat orang bertanya-tanya manakah yang benar diantara masing-masing kelompok klaim kebenaran. Ketika mereka saling berbantahan dan bukti-bukti kebenaran tidak mampu berguna buat mereka di dunia, ayat ini menyatakan bahwa keputusan itu diserahkan pada Allah di hari kiamat. Metode yang digunakan ayat ini adalah tafwidl, menyerahkan sesuatu untuk diputuskan. Penyerahan itu dilakukan Alquran dengan sikap penuh percaya diri. Bukankah sikap ini lahir dari keyakinan total bahwa dirinya berada di pihak yang benar?
***
Jadi kesimpulannya bahwa harmoni, kompromi ataupun toleransi tidak akan pernah terjadi pada tingkat teologis dan metafisik. Sudah barang tentu semua pemeluk agama dan kepercayaan dapat bekerjasama atas dasar kesejajaran sistem nilai moral dan etika. Dan ajaran-ajaran Alquran yang telah mengatur pola hubungan secara praktis dengan kaum-kaum agama lain sudah sangat jelas (lihat misalnya Q.s. al-Tawbah: 6, al-Nisa’: 90, al-Anfal: 61 dan al-Mumtahinah: 8) sehingga manipulasi penafsiran apalagi pemelintiran beberapa ayat Alquran untuk dijadikan dasar argumen kesetaraan agama-agama, sesuai dengan pemaparan tadi, dengan sendirinya tertolak. Wallahu a’lam

Friday, 04 September 2009 at 14:15

0 komentar: