Tuesday, June 12, 2012

Mesir Memilih Presiden


MESIR MENJELANG PILPRES PUTARAN KEDUA
Muhammad Nadjib 
(Komisi I DPR RI Fraksi-PAN, Ketua Kaukus Parlemen Indonesia untuk Middle East & North Africa)

Pada hari Rabu-Kamis lalu (23-24/5), rakyat Mesir memilih pemimpinnya dalam pilpres demokratis pertama pasca tumbangnya Hosni Mubarak. Hasilnya sudah terbaca bahwa capres dari Freedom and Justice Party (FJP) yang dilahirkan oleh Ikhwanul Muslimin(IM), Mohammad Mursi dengan 24% dan capres Ahmad Shafiq, mantan PM terakhir di era Mubarak, dengan 23% suara sah di urutan teratas. Hasil ini tak pelak mengejutkan publik dan pengamat dalam dan luar negeri yang dalam polling terakhir memprediksi capres Amr Moussa, mantan Sekjen Liga Arab, dan Aboul Futuh, jalur independen, yang akan melaju ke putaran kedua pilpres pada 16-17 Juni.

Dari realitas hasil pilpres putaran pertama, kontestasi di antara para kandidat capres Mesir yang berasal dari aliran politik yang beragam pun akhirnya mengerucut kepada dua arus besar, yaitu Pro-Reformasi yang diwakili capres Mursi berhadapan dengan sisa kekuatan loyalis mantan presiden Mubarak yang disimbolkan oleh capres Shafiq.

Dalam pengalaman banyak negara yang dalam proses transisi demokrasi, memang calon dari kubu rejim lama sering jadi kuda hitam, tak diunggulkan tapi meraup banyak suara. Unggulnya calon dari kubu status quo bisa jadi disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya terpecah belahnya kubu reformis, masih kuatnya jaringan birokrasi-militer, keunggulan pengalaman serta besarnya pendanaan yang dimiliki kelompok status quo.

Pemulihan Ekonomi dan Keamanan

Mesir pasca-revolusi menghadapi masalah yang cukup serius, terlepas dari suksesnya pemilu legislatif pada desember tahun silam. Masalah terbesar adalah pemulihan ekonomi dan keamanan serta mendapatkan kembali dukungan internasional. Partai politik dan presiden yang akan memimpin Mesir harus sanggup menyelesaikan masalah utama ini.

Di bidang ekonomi, angka pengangguran mencapai 9.7 persen dan 40 persen rakyat hidup miskin dan di bawah garis kemiskinan, serta tingginya tingkat buta huruf yang mencapai 71 persen dari penduduk, ditambah menyusutnya cadangan devisa Mesir dari sebelumnya USD 36 Milyar sebelum Mubarak lengser menjadi tinggal USD 15 Milyar. Belum lagi defisit anggaran yang sangat besar, karena 55 persen dari APBN-nya tersedot untuk menanggung beban susbsidi kebutuhan dasar rakyat dan membayar bunga hutang luar negeri.

Sementara persoalan keamanan terkait dengan kerusuhan sosial disebabkan memburuknya sentimen terhadap minoritas Koptik dan kekuatiran kelompok liberal terhadap kemenangan partai-partai berhaluan Islamis yang mengkhawatirkan Mesir terjerembab pada kemungkinan munculnya rejim teokratis.

Sementara dukungan internasional khususnya negara-negara Barat akan sangat ditentukan oleh bagaimana Pemerintahan baru nanti menyikapi Perjanjian Damai Mesir-Israel yang diteken Anwar Saddat tahun 1979, disamping dukungan negara-negara Arab kaya di kawasan Teluk yang tidak ingin terimbas semangat reformasi yang akan mempertanyakan sistem kerajaan atau keemiran yang mereka terapkan sampai kini.

Disinilah ujian terberat capres Muhammad Mursi yang didukung FJP, apabila ia gagal meyakinkan publik baik di dalam negri maupun di luar negri, maka kekhawatiran publik akan menjadi truf yang akan ‘dimainkan’ kubu capres Shafiq untuk meraih dukungan. Barangkali  FJP harus belajar dari Adalet Ve Kalkinma Partisi (AKP) di Turki yang berhasil meyakinkan bahkan membuktikan bahwa mereka berhasil membangun Turki sekaligus melindungi kelompok minoritasnya dalam bingkai demokrasi dan HAM. Sehingga dukungan datang bukan saja dari dalam negri tetapi juga dari luar negri.

Sebagai kandidat dari kelompok Islamis, Mursi harus menyadari bahwa dominasi kelompok  Islamis di pentas politik Mesir mutakhir telah menjadi sorotan, untuk menghindari penyebutan ‘kekhawatiran’. Parlemen Mesir saat ini hampir 75% dikuasai oleh gabungan dari FJP, sayap politik Ikhwanul Muslimin dan Annour Party, sayap politik Salafi. Besar kemungkinan kedua kubu Islamis itu bersatu dalam isu-isu strategis meskipun dalam banyak isu taktis mereka berbeda. Meskipun pujian juga datang pada dua kelompok ini karena kesediaan mereka memilih jalur demokrasi dan sistem parlementer untuk memperjuangkan agenda mereka.


Posisi Indonesia

Sebagai Negara sahabat, Indonesia dapat mengambil peran dan memberikan konstribusi dengan cara berbagi pengalaman bagaimana kita menghadapi transisi politik pasca-reformasi 1998. Pemilu yang damai dan kemampuan melahirkan berbagai undang-undang baru yang diterima oleh berbagai pihak telah memberikan konstribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Lebih dari itu Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia mampu membuktikan bahwa nilai-nilai demokrasi dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Islam. Jika saat awal Reformasi pendapatan perkapita Indonesia hanya USD 500, maka hanya dalam rentang 12 tahun, pendapatan perkapita kita  naik menjadi USD 3500. Indonesia juga berkepentingan melihat Mesir, mengingat hubungan ekonomi kedua negara sangat erat.

Di tahun 2011, meski terjadi revolusi, volume dagang kedua Negara meningkat 66,8% dari tahun 2010, yang mencapai USD 725,6 juta dengan surplus bagi Indonesia. Juga di tahun yang sama, realisasi investasi Indonesia di Mesir mencapai USD 250 juta. Secara politik Indonesia juga berkepentingan, mengingat peran regional Mesir pada negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara.

Secara khusus Indonesia berkepentingan menjaga sekitar 5000 mahasiswa kita yang sedang belajar di Mesir. Perubahan konstelasi politik dengan munculnya gerakan fundamentalisme akan mempengaruhi dan mengganggu ketentraman dan suasana harmonis di dalam negeri. Cepat atau lambat mereka akan pulang, jangan sampai euforia yang dilihat di negara-negara tempat mereka belajar akan dibawa sebagai oleh-oleh untuk diterapkan di tanah air.

Anak-anak kita harus diyakinkan bahwa apa yang terjadi disana saat ini sejatinya terinspirasi oleh apa yang kita alami 14 tahun lalu. Karena itu tidak berlebihan bila kita menyatakan kita perlu berbagi pengalaman yang kita miliki untuk menghindari penggunaan istilah mengajari mereka bagaimana seharusnya menghadapi masa transisi kekuasaan dan bukan sebaliknya.

0 komentar: