Muhammad Nadjib
(Komisi I DPR RI Fraksi-PAN, Ketua Kaukus Parlemen Indonesia untuk Middle East & North Africa)
Pada hari Rabu-Kamis lalu (23-24/5), rakyat Mesir memilih
pemimpinnya dalam pilpres demokratis pertama pasca tumbangnya Hosni Mubarak.
Hasilnya sudah terbaca bahwa capres dari Freedom and Justice Party (FJP) yang
dilahirkan oleh Ikhwanul Muslimin(IM), Mohammad Mursi dengan 24% dan capres Ahmad Shafiq, mantan PM terakhir
di era Mubarak, dengan 23% suara sah di urutan teratas. Hasil ini tak pelak
mengejutkan publik dan pengamat dalam dan luar negeri yang dalam polling
terakhir memprediksi capres Amr Moussa, mantan Sekjen Liga Arab, dan Aboul
Futuh, jalur independen, yang akan melaju ke putaran kedua pilpres pada 16-17 Juni.
Dari realitas hasil pilpres putaran pertama, kontestasi
di antara para kandidat capres Mesir yang berasal dari aliran politik yang
beragam pun akhirnya mengerucut kepada dua arus besar, yaitu Pro-Reformasi yang
diwakili capres Mursi berhadapan dengan sisa kekuatan loyalis mantan presiden
Mubarak yang disimbolkan oleh capres Shafiq.
Dalam pengalaman banyak negara yang dalam proses transisi
demokrasi, memang calon dari kubu rejim lama sering jadi kuda hitam, tak
diunggulkan tapi meraup banyak suara. Unggulnya calon dari kubu status quo
bisa jadi disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya terpecah belahnya kubu
reformis, masih kuatnya jaringan birokrasi-militer, keunggulan pengalaman serta
besarnya pendanaan yang dimiliki kelompok status quo.
Pemulihan Ekonomi dan Keamanan
Mesir pasca-revolusi menghadapi
masalah yang cukup serius, terlepas dari suksesnya pemilu legislatif pada
desember tahun silam. Masalah terbesar adalah pemulihan ekonomi dan keamanan
serta mendapatkan kembali dukungan internasional. Partai politik dan
presiden yang akan memimpin Mesir harus sanggup menyelesaikan masalah utama ini.
Di bidang ekonomi, angka pengangguran mencapai 9.7
persen dan 40 persen rakyat hidup miskin dan di bawah garis kemiskinan, serta
tingginya tingkat buta huruf yang mencapai 71 persen dari penduduk, ditambah
menyusutnya cadangan devisa Mesir dari sebelumnya USD 36 Milyar sebelum Mubarak
lengser menjadi tinggal USD 15 Milyar. Belum lagi defisit anggaran yang sangat
besar, karena 55 persen dari APBN-nya tersedot untuk menanggung beban susbsidi
kebutuhan dasar rakyat dan membayar bunga hutang luar negeri.
Sementara persoalan keamanan terkait dengan
kerusuhan sosial disebabkan memburuknya sentimen terhadap minoritas Koptik dan
kekuatiran kelompok liberal terhadap kemenangan partai-partai berhaluan Islamis
yang mengkhawatirkan Mesir terjerembab pada kemungkinan munculnya rejim
teokratis.
Sementara dukungan internasional khususnya
negara-negara Barat akan sangat ditentukan oleh bagaimana Pemerintahan baru
nanti menyikapi Perjanjian Damai Mesir-Israel yang diteken Anwar Saddat tahun
1979, disamping dukungan negara-negara Arab kaya di kawasan Teluk yang tidak
ingin terimbas semangat reformasi yang akan mempertanyakan sistem kerajaan atau
keemiran yang mereka terapkan sampai kini.
Disinilah ujian terberat capres Muhammad Mursi yang
didukung FJP, apabila ia gagal meyakinkan publik baik di dalam negri maupun di
luar negri, maka kekhawatiran publik akan menjadi truf yang akan ‘dimainkan’
kubu capres Shafiq untuk meraih dukungan. Barangkali FJP harus belajar dari Adalet Ve Kalkinma
Partisi (AKP) di Turki yang berhasil meyakinkan bahkan membuktikan bahwa mereka
berhasil membangun Turki sekaligus melindungi kelompok minoritasnya dalam
bingkai demokrasi dan HAM. Sehingga dukungan datang bukan saja dari dalam negri
tetapi juga dari luar negri.
Sebagai kandidat dari kelompok Islamis, Mursi harus
menyadari bahwa dominasi kelompok Islamis di pentas politik Mesir mutakhir telah
menjadi sorotan, untuk menghindari penyebutan ‘kekhawatiran’. Parlemen Mesir
saat ini hampir 75% dikuasai oleh gabungan dari FJP, sayap politik Ikhwanul
Muslimin dan Annour Party, sayap politik Salafi. Besar kemungkinan kedua kubu
Islamis itu bersatu dalam isu-isu strategis meskipun dalam banyak isu taktis
mereka berbeda. Meskipun pujian juga datang pada dua kelompok ini karena
kesediaan mereka memilih jalur demokrasi dan sistem parlementer untuk
memperjuangkan agenda mereka.
Posisi Indonesia
Sebagai Negara sahabat, Indonesia dapat mengambil
peran dan memberikan konstribusi dengan cara berbagi pengalaman bagaimana kita
menghadapi transisi politik pasca-reformasi 1998. Pemilu yang damai dan
kemampuan melahirkan berbagai undang-undang baru yang diterima oleh berbagai
pihak telah memberikan konstribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.
Lebih dari itu Indonesia sebagai negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia mampu membuktikan bahwa nilai-nilai demokrasi
dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Islam. Jika saat awal Reformasi
pendapatan perkapita Indonesia hanya USD 500, maka hanya dalam rentang 12 tahun,
pendapatan perkapita kita naik menjadi
USD 3500. Indonesia juga berkepentingan melihat Mesir, mengingat hubungan
ekonomi kedua negara sangat erat.
Di tahun 2011, meski terjadi revolusi, volume
dagang kedua Negara meningkat 66,8% dari tahun 2010, yang mencapai USD 725,6 juta dengan surplus bagi Indonesia. Juga di
tahun yang sama, realisasi investasi Indonesia di Mesir mencapai USD 250 juta. Secara politik
Indonesia juga berkepentingan, mengingat peran regional Mesir pada negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara.
Secara khusus Indonesia berkepentingan menjaga sekitar
5000 mahasiswa kita yang sedang belajar di Mesir. Perubahan konstelasi politik
dengan munculnya gerakan fundamentalisme akan mempengaruhi dan mengganggu
ketentraman dan suasana harmonis di dalam negeri. Cepat atau lambat mereka akan
pulang, jangan sampai euforia yang dilihat di negara-negara tempat mereka
belajar akan dibawa sebagai oleh-oleh untuk diterapkan di tanah air.
Anak-anak kita harus diyakinkan bahwa apa yang
terjadi disana saat ini sejatinya terinspirasi oleh apa yang kita alami 14
tahun lalu. Karena itu tidak berlebihan bila kita menyatakan kita perlu berbagi
pengalaman yang kita miliki untuk menghindari penggunaan istilah mengajari
mereka bagaimana seharusnya menghadapi masa transisi kekuasaan dan bukan
sebaliknya.
0 komentar:
Post a Comment