Menkes, Kesetaraan Gender dan Kondom
Rabu, 20 Juni 2012
Oleh: Henri Shalahuddin, MA
ORANG tidak
sehat, kok disuruh ngurus kesehatan! Itulah kesan pertama saya ketika
mengomentari gebrakan bagi-bagi kondom ke remaja usia 14-24 tahun. Aksi
Menkes ini mengingatkan cerita warga Muslim Melbourne yang berpesan
kepada anaknya saat mau menghadiri farewell party di sekolahnya,
“Hati-hati, jaga kemaluanmu.” Itulah nasehat orangtua kepada anaknya
agar tidak tergelincir pada perzinahan. Sementara pada saat yang sama,
seorang guru di sekolahnya juga berpesan pada murid-murid agar
berhati-hati dan tidak lupa memakai kondom. Itulah cerita seorang ayah
tentang beratnya tantangan menanamkan nilai-nilai agama kepada buah
hatinya di negara sekular seperti Australia. Agama selalu dihadapkan
langsung dengan sekularisme. Bahkan sekularisme terlalu jauh mencampuri
urusan keluarga.
Cerita di atas bukannya tidak mungkin akan
menimpa remaja di sekitar kita, bahkan anak-anak kita, na’udzu billah!
Sebab seperti yang telah terencanakan, ide gila ini justru dipelopori
oleh Menteri Kesehatan yang baru, Nafsiah Mboi. Tentunya gerakan Menkes
ini tidak sekedar ingin menyaingi Julia Perez yang menyisipkan kondom
dalam album perdananya, tapi seolah-olah ia ingin memperolok-olok Meutia
Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan saat itu) yang menegur
Julia Perez karena dinilai Meutia mempromosikan gaya hidup seks bebas.
(http://www.sctv.co.id/infotainment/bagi-bagi-kondom-julia-perez-ditegur_19673.html)
Dalam
penjelasannya, Menkes yang baru dilantik ini beralasan bahwa kampanye
kondom ini untuk meningkatkan kesadaran kesehatan reproduksi untuk
remaja. Sebab menurutnya, data di lapangan menunjukkan 2,3 juta remaja
melakukan aborsi setiap tahunnya. Oleh karena itu dia tidak sependapat
dengan Undang-Undang yang melarang pemberian kontrasepsi bagi yang belum
menikah.
Menkes juga berdalih bahwa gebrakannya itu sebagai
langkah untuk memastikan terjaminnya hak setiap anak yang dikandung
sesuai UU Perlindungan Anak. Maka, mempermudah akses remaja untuk
mendapatkan kondom diharapkan dapat menekan angka aborsi dan kehamilan
yang tak diinginkan. Lucunya dalam menanggapi kekuatiran bahwa pemberian
kondom kepada remaja dapat memicu seks bebas, Menkes berpendapat, jika
pemahaman remaja mengenai kesehatan reproduksi sudah cukup baik, tidak
perlu ada kekhawatiran idenya ini akan memicu seks bebas.
(http://www.gatra.com/kesehatan/73-kesehatan/14162-menkes-nafsiah-galakkan-kondom)
Pernyataan
di atas rancu sekali, sebab bagaimana mungkin bagi-bagi kondom ke
remaja tanggung usia 14 tahun tidak berpengaruh langsung kepada promosi
seks bebas. Siapa pun tahu kegunaan kondom bukan untuk ngupil.
Membagikan kondom kepada remaja tanggung sama saja membagikan parang
kepada preman. Tapi kenapa Menkes masih saja mengelak kalau dirinya
ingin mempromosikan seks bebas di kalangan remaja? Ataukah ia mempunyai
definisi sendiri tentang seks bebas yang selama ini dipahami masyarakat
sebagai kegiatan seksual di luar nikah?
Paham Kesetaraan Gender dan Seks Bebas
Penjelasan
Menkes di atas menguatkan bagaimana paham kesetaraan gender ketika
menyatu dengan kekuasaan dan bisnis. Alasan untuk meningkatkan kesadaran
tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja sejatinya telah
memperjelas nilai-nilai yang diusung kesetaraan gender. Kesehatan
reproduksi dalam ideologi gender bukan sebatas ingin meningkatkan
pelayanan persalinan yang sehat, aman dan terjangkau bagi semua
kalangan. Tapi lebih ditujukan kepada hak melakukan aborsi dan seks
bebas dengan mempermudah akses mendapatkan alat-alat kontrasepsi seperti
kondom. Dalam paham ini, masalah pengaturan kehamilan adalah hak
perempuan yang tidak boleh dikurangi sedikit pun. Maka kebijakan Menkes
hanya memastikan tidak terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan
perempuan. Sebab doktrin kesetaraan gender mengajarkan bahwa perempuan
berhak untuk memiliki dan mengelola tubuhnya sendiri tanpa adanya
intervensi dari agama dan negara.
Lebih lanjut, indikasi adanya
kampanye syahwat merdeka terlihat jelas melalui program penyasaran
bagi-bagi kondom kepada remaja tanggung dan ketidaksetujuan Menkes
dengan UU yang melarang pemberian kontrasepsi bagi yang belum menikah.
Begitulah jika paham kesetaraan gender menempati kekuasaan. Ia hanya
melahirkan kebijakan berbasis gender. Mereka tidak lagi memperdulikan
suara rakyat yang mengongkosi jalannya roda pemerintahan. Karena memang
dalam demokrasi bar-bar, rakyat bebas bersuara dan pemerintah juga bebas
untuk tidak mendengarkan suara rakyat. Namun apakah gebrakan ini
menjamin untuk mengerem laju penularan AIDS/HIV? Bagaimana dengan kaum
pria dengan usia 24 tahun keatas? Kenapa objek kampanye ditujukan kepada
remaja yang baru puber? Dan kenapa harus pria bukan wanita yang
dijadikan sasaran kampanye?
Penutup
Apa yang diprogramkan
Menkes, sejatinya merupakan gerakan yang sangat parsial dalam
menanggulangi problem besar tentang dekadensi moral generasi muda.
Bahkan dalam tataran parsial pun, keberhasilan program ini masih
dipertanyakan. Sementara dampak pastinya yang mendorong kehidupan seks
bebas di kalangan remaja tanggung tidak diragukan lagi. Terlepas dari
berhasil tidaknya gebrakan Menkes baru ini, yang jelas pola pikir yang
dianutnya sangat liberal-sekular. Sebab yang ditanganinya hanyalah salah
satu dampak seks bebas yang hanya terfokus pada penyakit fisik-empirik.
Sementara kesehatan mental dan moral tidak menjadi prioritas sama
sekali.
Jelas hal ini merupakan tragedi di negara yang berasaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab. Bukankah dalam kitab suci agama yang dianut Menkes ini
disebutkan: “Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan
membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi
dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!” (Mark
10:19).
Maka akan lebih baik jika Menkes bekerjasama dengan Menag untuk
mengintensifkan pendidikan kesehatan reproduksi berbasis agama di
lingkungan sekolah. Sebab saya yakin bahwa keberadaan Menkes bukan
sebagai makelar kondom dan alat-alat kontrasepsi lainnya. Maka
persepsikanlah sosok Menkes sebagai pribadi yang paling perduli dengan
segala bentuk kesehatan, baik fisik, mental maupun spiritual. Wallahu
a’lam bi l-shawab.
Penulis adalah Peniliti INSISTS bidang Gender
Friday, June 22, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment