Kebangkitan Pos-Islamisme, Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu
Judul: Kebangkitan Pos-Islamisme, Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu
Penulis: Ahmad Dzakirin
Editor: Ali Ghufron
Tebal: xxiv + 376 hlm, 21 cm
Setting: Al-Muna Sarwako
Desain Cover: Riyadh Graphic Art
Penerbit: PT ERA ADICITRA INTERMEDIA
Penulis: Ahmad Dzakirin
Editor: Ali Ghufron
Tebal: xxiv + 376 hlm, 21 cm
Setting: Al-Muna Sarwako
Desain Cover: Riyadh Graphic Art
Penerbit: PT ERA ADICITRA INTERMEDIA
Kata Pengantar: Yon Macmudi, Ph.D Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia
Perkembangan Islam dan politik di Turki menjadi fenomena yang sangat menarik akhir-akhir ini. Keberhasilan kelompok Islam untuk memengaruhi proses politik nasional setelah mewujud dalam partai politik yang dominan perlu mendapatkan perhatian khusus. Bukan saja karena kehadiran para aktivis Islam yang tergabung dalam AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) ini mampu mengurai persoalan pelik hubungan Islam dan negara, tetapi lebih dari itu, proses panjang gerakan Islam mampu masuk dalam mainstream politik Turki dengan ideologi sekuler paling kuat didunia ini juga patut menjadi bahan diskusi. Dibalik kesuksesan AKP dalam meraih dukungan politik yang kuat di Turki tentu memiliki banyak faktor yang saling berkaitan.
Buku yang ditulis oleh Ahmad Dzakirin ini mencoba untuk melihat sisi-sisi kemenangan kelompok “islamis” yang terlembaga melalui AKP dan pengaruh sosok Recep Tayyib Erdogan dalam mendongkrak popularitas partai. Tentu saja disamping karena didukung oleh kemampuan institusi dalam menggerakkan resources yang dimiliki (Resources Mobilization Theory) ditambah dengan tokoh fenomenal yang memiliki reputasi baik, dinamika sosial politik Turki berpengaruh dalam mengantarkan AKP mendapatkan momentum.
Interaksi antara sekularisme dan islamisme di Turki dalam bentuk oposisi dan koalisi sebenarnya terjadi dalam waktu yang sangat lama dan baru menampakkan hubungan yang lebih kondusif di era Erdogan. Di awali dari Necmettin Erbakan yang mendirikan partai Islam pertama dengan nama Milli Nizam Partisi-MNP (Partai Ketertiban Nasional) pada tanggal 26 Januari 1970. Gerakan yang dilakukan oleh kelompok islamis dalam bentuk partai ini merupakan bagian dari protes terhadap rezim sekuler yang korup dan otoriter. Meskipun partai ini kemudian dibubarkan oleh rezim militer, usaha Erbakan untuk terus menjadikan partai Islam sebagai kekuatan politik berpengaruh tidak pernah berhenti. Akhirnya, dengan partai Refah pada Pemilu 1996 dia berhasil mengantarkan partai berbasis Islam ini menjadi kekuatan dominan di pemerintahan. Hanya saja, hubungan antara kelompok Islam dan militer yang penjaga nilai-nilai sekularisme Turki masih diwarnai konflik dan saling mencurigai. Walaupun Erbakan berhasil meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Turki tetapi dimata militer, sosok Erbakan dan gerakannya masih menjadi ancaman. Ini karena Erbakan belum mampu menyelesaikan persoalan ideologi berkaitan eksistensi sekularisme di Turki. Gerakan kudeta militer (soft cu d’eta) pun terulang. Generasi Erdogan-lah yang kemudian dianggap mampu menjembatani hubungan antara kelompok Islam dan militer yang sekuler. Apabila pada masa Erbakan publik bertanya, “Bagaimana pandangan Islam tentang Negara bangsa yang sekuler?” pada era Erdogan mereka bertanya, “Bagaimana Islam berkontribusi dalam Negara bangsa yang sekuler?”
Dengan membaca buku Dzakirin ini kita mendapatkan penjelasan-penjelasan penting tentang bagaimana sebuah Negara yang paling sekuler seperti Turki dapat dikuasai oleh kelompok islamis. Penulis mengawali argumennya dengan dinamika politik yang ada di Turki dan khususnya dinamika internal kelompok “islamis” ini. Apa yang disebut oleh penulis sebagai awal perpisahan antara Guru dan Murid (Erbakan dan Erdogan) karena perbedaan pendapat mengenai metode dan strategi perjuangan Islam melalui partai politik sebenarnya merupakan titik demarkasi antara islamisme dan pos-islamisme. Kelompok muda reformis diwakili Recep Tayyib Erdogan dan Abdullah Gul menganggap gaya kepemimpinan dan pendekatan sang guru spiritual (Hoca) Necmettin Erbakan cenderung otoriter dan kaku yang mengakibatkan jatuh bangunnya partai islamis. Generasi Erdogan yang digambarkan penulis sebagai kelompok muda progresif kemudian memutuskan meninggalkan Erbakan dan membentuk Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi).
Tampilnya AKP secara kokoh, baik di tengah-tengah masyarakat maupun dimata militer pasca-kegagalan gerakan islamisme konservatif inilah yang sering disebut oleh pengamat Islam sebagai era pos-islamisme. Ada semacam perubahan paradigma dalam mengaktualkan cita-cita keumatan yang bebeda dengan kelompok islamisme lama. Beberapa indikasi perubahan itu dapat kita baca dalam analisis Dzakirin yang cukup informatif ini. Perubahan-perubahan itu berkaitan dengan strategi perjuangan dan pemaknaan ideology. Kemampuan barisan Erdogan, misalnya, dalam melakukan reinterpretasi ideologi sekularisme Turki tidak hanya mampu memberikan kenyamanan bagi konstituen Islam, tetapi dapat membangun kepercayaan birokrasi dan militer. Jalan tengah dalam menyelesaikan perdebatan ideologi ini dianggap sebagai cara jenius untuk menyelesaikan kebuntuan hubungan antara kelompok islamis dan militer. Sekularisme lebih dipandang sebagai institusi dan bukan pengejawantahan nilai dalam pribadi. Oleh karena itu, seorang muslim sebagai pribadi dapat berkontribusi secara utuh dalam Negara yang sekuler dengan membawa nilai-nilai agama yang melekat pada dirinya. Pendekatan semacam ini digambarkan juga secara baik oleh Jenny B White (2005) dengan menyebutnya sebagai penguat “muslimhood” (kepribadian muslim).
Perubahan strategi yang lebih terarah terutama berkaitan dengan hubungan internasional juga menjadi bagian penting bagi keberhasilan AKP di Turki. Pada satu sisi, partai ini berusaha untuk memasukkan Turki dalam kekuatan mainstream internasional (Eropa), tetapi pada sisi lain tetap menjaga komitmen pembebasan Palestina. Strategi ini berakibat pada menguatnya posisi Turki di dunia internasional (barat) dan juga di dunia Islam pada khususnya. Peristiwa Arab Spring dan perubahan politik Timur Tengah setelah hampir satu abad lamanya terisolasi dari dunia Arab setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani. Tentu saja reputasi gerakan Islam yang diawali Partai Refah dan dilanjutkan ole AKP dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Turki dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam negeri semakin menguatkan posisi partai ini didepan publik Turki. Baik Erbakan maupun Erdogan telah menunjukkan keseriusannya dalam menyelesaikan problem Turki ditingkat lokal karena keduanya adalah mantan walikota didaerah urban.
Saya merekomendasikan para mahasiswa, pemerhati Islam (Timur Tengah), politikus, akademisi, dan public secara umum untuk memiliki dan membaca buku ini. Disamping karena analisis-analisisnya yang dalam tentang dinamika Turki, buku ini juga merupakan buku pertama berbahasa Indonesia yang membahas dinamika Turki kontemporer. Saya berharap tentunya apa yang terjadi di Turki dapat dijadikan pembanding dalam membangun bangsa Indonesia, karena kondisi sosial, budaya, politik Turki sangat mirip dengan kondisi Indonesia. Jika gerakan-gerakan Islam di Turki mampu memberikan kontribusi politik secara optimal dan menjadi kekuatan dominan, tentu gerakan-gerakan Islam di Indonesia dapat melakukan hal yang sama.
0 komentar:
Post a Comment