Seperti sudah diprediksi, perkembangan realitas politik di Arab dan perubahan konstelasi status quo pascarevolusi memaksa Pemerintah AS untuk mengubah strategi politik luar negerinya, setidaknya dalam jangka pendek. AS biasanya haus darah dan naik pitam soal isu-isu keamanan strategis di Timur Tengah. Namun, dalam isu nuklir Iran, misalnya, AS kini tidak mau mengambil opsi serangan militer seperti yang diinginkan oleh ‘watch dog’ AS di kawasan yang bernama Israel. Pengaruh revolusi Arab terhadap perubahan strategi politik AS di Timur Tengah cukup kentara dalam kasus Iran dimana AS menghadapi posisi dilematis yang sangat besar.
Ujian Berat Politik AS
Pernyataan Menteri Pertahanan AS Leon Panetta, seperti dilansir media-media
internasional pada Jumat (11/11), bahwa AS memilih sanksi ekonomi ketimbang
serangan militer kepada Iran tak hanya menampik spekulasi tentang
serangan militer terhadap Iran, tetapi
juga menyingkap perbedaan prioritas
agenda Pemerintah AS dan Israel.
Hal itu terjadi lantaran perbedaan kepentingan AS dan Israel di kawasan itu
akhir-akhir ini. Prioritas Israel adalah fokus untuk menggagalkan ambisi Iran
memiliki senjata nuklir. Ambisi Iran ini tentu saja bakal menciptakan
perimbangan kekuatan nuklir utama di Timur Tengah; dimana Israel adalah satu-satunya
Negara nuklir di kawasan. Selain juga dipandang sebagai ancaman serius terhadap
keamanan nasional Negara Zionis. Adapun AS kini lebih utamakan mempertahankan
kepentingannya atau bahkan kalau bisa meningkatkan pengaruhnya di dunia Arab
pascarevolusi.
Karena itu kebijakan atau manuver politik AS kini lebih diarahkan pada
upaya menggandeng pemain-pemain baru Negara Arab dan membangun kemitraan (partnership)
dengan mereka yang baru berhasil menumbangkan rezim lama melalui revolusi
rakyat, seperti di Tunisia, Mesir, dan Libya. Selain itu, AS juga tampak sedang
sibuk mengamankan peralihan kekuasaan di Negara Arab yang dilanda revolusi
rakyat seperti Suriah dan Yaman.
Dengan kata lain, fokus kebijakan AS di Timur Tengah adalah bagaimana
Negara-negara Arab yang dilanda revolusi rakyat itu tidak menjelma menjadi Iran
kedua atau jatuh ke pangkuan ekstrimis seperti Tanzim Al Qaeda. Kedua
kemungkinan itu amat sangat menakutkan bagi AS dan semakin menambah beban
ongkos militer dan mengancam keselamatan pasukan AS yang selama ini beroperasi
di Irak dan Afganistan.
AS menyadari jika ada agenda lain seperti aksi militer terhadap Iran dalam
waktu dekat, bisa mengganggu atau bahkan menggagalkan proyeknya di dunia Arab
saat ini, setidaknya hingga Maret 2012 nanti dimana konfigurasi politik Arab
sudah terpetakan lebih jelas. Para pejabat keamanaan dan intelejen AS pasti
terus memantau kondisi Arab pascarevolusi. Pemilu terbaru Tunisia telah
mengantarkan partai Ennahda yang berbasis Islam sebagai pemenang, dan Mesir
pada 28/11 akan menggelar pemilu parlemen yang diprediksi kubu Islamis juga
akan menang.
Praktis mulai bulan Oktober tahun ini hingga Maret 2012, suhu politik Arab tengah meninggi sehubungan rangkaian pemilu demokratis pertama setelah tumbangnya rejim-rejim Arab. Ini tentu saja menjadi perhatian serius AS, sehingga opsi serangan militer atas Iran -yang menurut laporan IAEA (Badan Pengawas Atom dan Nuklir PBB) terdapat indikasi program nuklir Iran mengarah pada pembuatan bom nuklir dan rudal balistik berhulu ledak nuklir-, diabaikan oleh AS.
Itulah yang bisa ditafsirkan dari bagian lain pernyataan Menhan Panetta, yang mantan Direktur CIA, bahwa serangan
militer ke Iran akan memberi dampak serius untuk kawasan dan kekuatan AS di
Timur Tengah.
Dalam konteks itu, pemerintah AS mengirim delegasi tingkat tinggi ke Israel
pekan depan yang dipimpin Deputi Menteri Keuangan AS Urusan Intelejen Finansial
dan Terorisme David S Cohen. Kunjungan Cohen ke Israel itu semakin jelas
menunjukkan bahwa AS fokus menjatuhkan sanksi ekonomi yang melumpuhkan Iran, bukan
opsi militer seperti kemauan Tel Aviv.
Namun, pilihan sanksi ekonomi atas Iran juga bukan pilihan yang mudah bagi
AS. Pilihan itu pasti mendapat tantangan serius dari China dan Rusia. China
misalnya, secara tersirat keberatan dengan rencana penerapan sanksi ekonomi
baru terhadap Iran oleh pihak Barat, seperti disampaikan jubir Kemenlu China
dalam jumpa pers rutin di Beijing, Jumat (11/11). China dan Rusia masih menjalin hubungan baik dengan Iran, terutama bidang
politik dan ekonomi, meski kedua Negara itu masuk dalam inisiatif P5 plus 1,
yakni enam Negara kekuatan utama dunia yang berunding dengan Iran untuk
memastikan program nuklir Iran tidak bertujuan membuat senjata.
Buat China, Iran adalah sangat strategis bagi pembangunan ekonominya. Iran
menjadi pemasok minyak mentah terbesar ketiga untuk China, dan telah mengirim
tak kurang dari 20,3 juta ton minyak ke Negara Tirai Bambu itu sepanjang tahun
hingga September ini. Apabila sanksi ekonomi DK PBB yang lebih luas terhadap
Iran jadi dijatuhkan, maka seluruh Negara di dunia, termasuk China dan Rusia,
wajib mematuhi resolusi tersebut. Dampaknya, hubungan bisnis antara China dan
Iran pasti terganggu, terutama pasokan minyak yang sangat dibutuhkan untuk
menggerakkan ekonomi China. Para pejabat dan diplomat China pasti akan
menghadang upaya sanksi ekonomi yang lebih luas atas Iran.
Dalam konteks yang sama, justru di tengah tekanan Barat pasca laporan
terbaru IAEA, Iran dan Rusia telah menyelesaikan perjanjian keamanan strategis
yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan lebih lanjut antara kedua negara.
Perjanjian ini baru saja ditandatangani pada Jumat (11/11) oleh Deputi
Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Baqeri dan rekan
Rusia-nya Yevgeny Lukyanov. "Dokumen ini menggabungkan berbagai aspek
kerjasama antara dewan keamanan nasional Iran dan Rusia pada sektor keamanan
yang berbeda, ekonomi, politik dan intelijen," kata Baqeri kepada IRNA.
Jelas sekali sinyal yang dikirim bahwa Rusia menentang sanksi baru atas Iran
terkait laporan IAEA tersebut.
Sebelumnya AFP pada 8/11 mengutip Menteri Luar Negeri
Rusia Sergei Lavrov, yang mengemukakan, setiap rencana serangan militer
terhadap Iran akan menjadi sebuah kesalahan yang sangat serius dan memiliki
konsekuensi yang tidak terduga.
Serangan militer atas Iran juga akan merugikan
perekonomian dunia, sebab Iran mengancam akan membalas setiap serangan dengan
memblokir Selat Hormuz, sehingga akan memotong jalur 40 persen dari pasokan
minyak dunia yang melintasi perarian itu setiap harinya.
Memanfaatkan Islamis Arab
Sebagaimana diketahui dari hasil pemilu Tunisia, akhir Oktober lalu, partai
Islamis moderat Ennahda menang. Ini
semakin membuat AS waspada jika melakukan spekulasi baru, seperti opsi militer
ke Iran. Sama halnya dengan pemilu parlemen di Mesir yang akan digelar 28/11 ,
Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, yang diprediksi
menang semakin menambah kehati-hatian AS. Spekulasi besar apa pun bentuknya
bisa kontraproduktif jika tak mendapat simpati kubu Islamis yang mulai berkuasa
di sejumlah Negara Arab.
Maka bisa dipahami sikap Kemenlu AS yang kian aktif mendekati kubu Islamis
di dunia Arab. Menlu AS, Hillary Clinton, Rabu (9/11), menegaskan bahwa AS siap
bekerja sama dengan kubu Islamis di Tunisia dan Negara Arab lain.
Pemerintah AS menyadari bahwa transisi demokrasi di Arab harus melibatkan kubu Islamis moderat. Dalam
konteks kepentingan jangka panjang AS, partisipasi kubu Islamis ‘moderat’ itu
strategis untuk bisa menjadi penyangga AS melawan pengaruh tanzim Al Qaeda dan
Iran di kawasan. AS rupanya sudah berkalkulasi politik sendiri bahwa
kepentingan AS di Timur Tengah yang terdesak oleh aksi-aksi militer Al Qaeda
dan provokasi Iran, akan semakin sulit dipertahankan jika kubu Islamis yang
berkuasa di Arab pascarevolusi juga ikut memusuhi AS.
Strategi AS itu terungkap dari pernyataan Deputi Menlu AS urusan Timur
Tengah, Tamara Wittes, kepada harian Al Hayat berbahasa Arab yang
berbasis di London, bahwa pemerintahan Presiden Barack Obama tengah melakukan
kontak intensif dengan Ikhwanul di Mesir. Menurutnya, AS telah memulai kontak
sejak tahun 2007 silam, dan semakin intensif sejak revolusi mesir.
Menurut Wittes, AS dan semua kekuatan politik di Tunisia dan Mesir,
termasuk Ikhwanul, sesungguhnya memiliki banyak titik temu seperti pentingnya
stabilitas, perdamaian, kawasan bebas nuklir dan pencegahan radikalisme. Wittes
berharap partai-partai Islamis di Arab bisa mengikuti jejak Partai Keadilan dan
Pembangunan (AKP) di Turki dalam membangun demokrasi di masing-masing Negara.
Kesimpulan
Dengan segala pertimbangan itu, AS menghadai situasi
dilematis. Pilihan serangan militer ataupun sanksi ekonomi yang luas, sama-sama
pil pahit yang harus ditelan oleh AS. Di tengah perubahan konfigurasi politik
di Arab pascarevolusi dan situasi geopolitik pemain internasional seperti China
dan Rusia, dalam kasus isu Iran, AS tak punya banyak pilihan untuk bermanuver.
Kekuatan baru kubu Islamis di Negara-negara Arab harus
sadar dan tepat membaca dilema politik luar negeri AS saat ini. Jangan sampai
mereka menjadi ‘kacung’ dan dimanfaatkan ‘gratisan’.
Konfigurasi dan postur politik kubu Islamis di Arab yang kini naik pamor harus
dimainkan oleh mereka dengan maksimal untuk menekan AS dan Israel agar segera
menghentikan kezaliman atas Palestina dan negeri-negeri muslim lainnya. Dengan
persatuan internal dan kemitraan strategis bersama kekuatan regional seperti Turki dan Iran, dan kekuatan
global seperti China dan Rusia, diharapkan dapat menciptakan status quo baru di
Timur Tengah; di mana
Zionis Israel semakin terkucil dan fajar kebangkitan Islam hakiki bisa terbit
dari Timur Tengah, agar perdamaian dunia bisa ditegakkan dengan wajar. Wallahu A’lam
Fahmi Salim, MA.
Anggota MUI Pusat dan
Peneliti Pusat Kajian Timur Tengah FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
0 komentar:
Post a Comment