Oleh Fahmi
Salim, MA.
Aksi
protes jalanan rakyat Arab terhadap kediktatoran para pemimpinnya pada ‘musim
semi’ lalu telah sukses menumbangkan tokoh-tokoh politisi gaek seperti Zinel
Abidin ben Ali, Hosni Mobarak, dan Kolonel Moammar Qaddafy. Nasib tragis
menimpa Ben Ali yang kini dalam suaka politik di Arab Saudi. Hosni Mobarak pun
telah jadi pesakitan karena tuduhan korupsi dan pelanggaran HAM selama aksi
protes berlangsung. Nasib Qaddafy lebih tragis, ia ditangkap dan ditembak mati
oleh rakyatnya sendiri di Sirte, kota kelahirannya.
Setelah
lebih dari 8 bulan silam badai revolusi rakyat menyapu dan menggulung para
pemimpin Arab dimulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah sejak
Februari lalu, kini rakyat mulai memasuki titik krusial dalam proses transisi
demokrasi di dunia Arab. Proses
transisi politik di Mesir, Tunisia dan Libya pada ‘musim dingin’ kali ini perlahan tapi pasti mulai melahirkan realitas
politik baru di kawasan Arab (Al-Wathan Al-‘Arabi).
Kemenangan
besar Partai Ennahda pimpinan Rachid Ghannoushi yang berbasis Islam di pemilu
Tunisia, berhasil meraup 42 % suara sah dan mendudukkan kadernya di 90 dari 217
kursi Majelis Konstituante yang bertugas menyusun konstitusi baru Tunisia pasca
Ben Ali. Tak lama berselang, diumumkannya Syariah Islam sebagai rujukan utama
hukum di Libya pasca Qaddafy oleh Ketua Dewan Transisi Nasional (NTC) Mostafa
Abdul Jalil. Dan terbaru, prediksi kemenangan faksi Ikhwanul Muslimin di Mesir
pada pemilu 27
November ini,
semakin menguatkan pamor Islam politik di Negara-negara Arab yang disapu
revolusi.
Intinya,
sejauh ini kelompok
Islamis lah yang meraih keuntungan politik dari tumbangnya rezim-rezim tiran di
kawasan Arab. Tak kurang, harian The Washington Times dalam editorialnya pada
25/11 menurunkan judul “From Arab Springs to Islamist Winter” untuk mengulas
fenomena itu.
Pamor Islamisme Politik
Realitas
politik Arab selama beberapa dekade terakhir mungkin memberi indikasi bahwa rakyat di
kawasan Arab (Al-Wathan Al-Arabi) lebih memilih orientasi sekulerisme ketimbang
Islam di kancah politik. Namun pengamatan sekilas itu salah besar. Sebab ideologi
Islam telah menyebar dan mengakar kuat di sebagian besar lapisan
rakyat Arab-Muslim, meski rejim-rejim politik yang berkuasa tampak sekuler dan
pro-Barat.
Organisasi
Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir adalah cikal
bakal dan induk gerakan-gerakan Islamisme politik di kawasan Arab. Karenanya, sejak awal organisasi
Ikhwanul Muslimin sangat aktif mendirikan cabang-cabang di negara-negara Arab.
Cabang-cabang Ikhwanul Muslimin di luar Mesir, antara lain di Suriah (berdiri
sejak 1935); di Palestina (sejak 1946); Yordania (sejak 1953); serta di Irak
dan Sudan.
Meskipun pihak
pemerintah atau kerajaan di negara-negara itu menyatakan Ikhwanul Muslimin
illegal, tetapi mereka tidak mampu menghentikan gerak dan pengaruhnya. Semakin
hari, keberhasilan dan popularitas Ikhwanul Muslimin makin meluas. Bahkan,
masyarakat kecil merasakan dampak positif dari organisasi ini, utamanya di
bidang sosial dan pendidikan di tengah kesulitan ekonomi yang
menghimpit mereka. Di Mesir
sendiri, organisasi ini menarik minat masyarakat dari berbagai kalangan.
Ensiklopedi Dunia Islam Modern (Ed. John L. Esposito) menyebutkan, mulai mahasiswa, guru
besar, dokter, pengacara, hingga kaum profesional bergabung dengan Ikhwanul
Muslimin.
Popularitas faksi Islam politik
di kawasan Arab didukung oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah
soliditas basis ideologi yang dikombinasi pengorganisasian dan wacana modern. Secara
politis, Ikhwanul Muslimin, yang didirikan di Mesir tahun 1928 oleh cendekiawan
Hassan al-Banna, telah menjadi gerakan Islami paling berpengaruh di dunia Arab.
Mereka tetap berpegang pada moto ”Allah adalah tujuan kami/Nabi Muhammad
pemimpin kami/ Quran adalah hukum kami”, dan slogan “Islam adalah Solusi”, suatu
basis ideologi yang oleh mereka tak bisa ditawar.
Namun hal itu tidak menghalangi
mereka untuk menerima demokrasi, konsep nation-state, pengakuan hak-hak wanita dan
perlindungan bagi kaum minoritas non-muslim. Ikhwanul juga cerdik bermanuver
politik yang mengundang respon positif dari kalangan dalam dan luar negeri.
Misalnya, Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik IM, telah mengangkat
tokoh Koptik Mesir, Rafiq Habib, sebagai wakil ketua umum partai tersebut,
untuk menunjukkan partai itu bersifat terbuka, bukan untuk muslim saja.
Kedua, sikap
keras dan penindasan rejim-rejim Arab terhadap mereka selama puluhan tahun akhirnya
menarik simpati dari masyarakat luas. Sempat ditekan keras sampai gerakan
rakyat menggulingkan Presiden Zine el Abidine Ben Ali di Tunisia dan Hosni
Mubarak di Mesir, Ikhwanul kini justru muncul sebagai pemain kunci dalam
realitas politik baru pasca revolusi.
Rachid Gannoushi, tokoh sentral
Partai Ennahda di Tunisia, hidup 22 tahun di London tempat pengasingannya
akibat tindakan represi rejim Ben Ali. Ia baru kembali ke Tunisia, sepekan
setelah Ben Ali tumbang, dan langsung menjadi ikon perlawanan terhadap rejim
yang korup dan despotik.
Simpati besar dari rakyat itulah yang mengantarkan Ennahda sebagai pemenang
pemilu. Apalagi di tengah lemahnya konsolidasi dan tak terorganisirnya
faksi-faksi liberal di Tunisia dan Mesir menjadikan kubu Islamis meraih
dukungan besar.
Ketiga,
keberhasilan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki pimpinan Erdogan
yang berorientasi Islam untuk ketiga kalinya memenangi pemilu 2011 dengan
signifikan, juga turut mendongkrak popularitas Islam politik di kawasan Arab.
Terlebih Turki di bawah kendali AKP sukses pula secara ekonomi meningkatkan GDP
dan perkapitanya dalam 10 tahun terakhir, sehingga dengan surplus ekonomi itu
Turki lebih leluasa bermanuver keluar untuk mempengaruhi publik Arab saat
revolusi meletus di dunia Arab. AKP yang modern dan progresif, serta tidak anti-Barat memainkan
peran politik yang signifikan untuk meyakinkan publik Arab bahwa jika kubu Islamis
berkuasa pasca transisi demokrasi, maka model Turki itulah yang cocok
diterapkan di kawasan tersebut.
Sebelum
revolusi Arab, saat FIS yang memenangi pemilu Aljazair tepat dua dekade lalu (1991) dibatalkan oleh militer yang direstui Barat
dan Hamas menang mayoritas pemilu Palestina pada 2006 hingga dikucilkan Israel
dan Barat, itu semua mungkin terjadi. Namun naiknya pamor Islam politik
pasca revolusi Arab adalah realitas politik baru hasil transisi demokrasi yang
harus diterima AS dan sekutunya. Kini, AS dan Barat sebagai patron Israel yang mengontrol kawasan Arab, mau tak
mau harus membuka komunikasi dan dialog dengan Ikhwanul di Mesir sebagai
episentrum gerakan Islam politik seiring gelombang revolusi saat ini, seperti
rekomendasi kajian Kemlu AS, Komisi Hubungan Luar Negeri Kongres, dan Dewan
Keamanan Nasional AS. Sejauh mana dialog itu berjalan konstruktif dan positif
untuk kepentingan kawasan yang stabil, makmur dan demokratis, dan apa dampaknya bagi upaya resolusi konflik Arab-Israel dalam jangka panjang dan pendek? Perjalanan waktu lah yang akan membuktikannya.
*Penulis adalah
Anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat,
dan Pengamat Pemikiran dan Politik Timur Tengah.
0 komentar:
Post a Comment