Wednesday, December 7, 2011

UJIAN POLITIK KAUM ISLAMIS MESIR


Sempat diisukan santer, bahwa pemilu pertama pascarevolusi di Mesir akan ditunda akibat eskalasi protes di Tahrir Square terhadap Dewan Agung Militer (SCAF) dengan tuntutan alih kekuasaan ke tangan sipil. Di luar dugaan, Pemilu Mesir akhirnya sukses digelar pada Senin - Selasa (28-29/11). Dibayang-bayangi kegagalan, ternyata rakyat Mesir membungkam semua asumsi dengan tingkat partisipasi 70% yang mencengangkan para pengamat dalam dan luar negeri. Kondisi ini tak lepas dari suasana batin seluruh rakyat Mesir yang rindu berpartisipasi dalam pemilu yang bebas dan jurdil untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak revolusi yang dilakukan para Opsir Bebas di Mesir tahun 1953 yang menggulingkan Raja Farouk.

Dan pada Jumat (2/12) Komisi Tinggi Pemilu Mesir mengumumkan hasil akhir pemilu tahap pertama yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) meraih 40 %, disusul Partai An-Nour (beraliran Salafi) meraih 25 % dan Koalisi Blok Mesir (Aliansi Partai Liberal dan Nasionalis) dengan 15 % dan sisanya diraih oleh partai-partai gurem dan partai lama seperti Al-Wafd, Al-Wasat (eks Ikhwan), Tagammu, dan Koalisi Pemuda Revolusi.

Kemengangan partai bentukan IM, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, sebab sudah diramalkan sebelumnya. Namun bangkitnya gerakan politik berbasis aliran Salafis (Partai An-Nur) yang menyodok perolehan suara di posisi kedua, sangat mengejutkan banyak pihak, dan diangggap paling fenomenal. Pertama, karena mainstream salafi selama ini dikenal tidak menceburkan diri ke dalam kancah politik praktis, seperti halnya Ikhwan yang sudah matang puluhan tahun, bahkan identik mengharamkan demokrasi dan politik praktis. Kedua, para pengamat politik memperkirakan bahwa eksistensi partai Salafis di panggung politik Mesir era reformasi akan cukup menyulitkan posisi Ikhwan. Meski besar kemungkinan kedua kubu Islamis itu dapat bersatu dan sepakat dalam isu-isu strategis seperti materi-materi UUD baru Mesir yang mesti bercorak Islami dan mengadopsi syariah, namun dalam banyak isu-isu pragmatis lainnya kemungkinan mereka berselisih dan berseberangan paham cukup besar. Isu-isu seperti turisme asing sebagai devisa Negara, hak-hak sipil kaum perempuan, dan lain-lain bisa jadi perselisihan antara keduanya bisa setiap saat meruncing. Namun, para pengamat memuji sikap yang diambil kaum Salafis Mesir yang memilih jalur demokrasi dan system parlementer untuk memperjuangkan agenda islami mereka. Sebab walau bagaimanapun konservativisme politik dalam tatanan prosedur demokratis, masih lebih baik ketimbang memilih jalur anarkis di luar kanal-kanal politik yang resmi.

Meski hasil pemilu tahap pertama ini belum mencerminkan hasil resmi final dari keseluruhan 3 tahap pemilu yang baru akan berakhir pada 10/1/2012, namun para pengamat memprediksi bahwa hasilnya tak akan jauh berbeda dengan hasil tahap pertama. Karena hasil tersebut sudah bisa memetakan tahap-tahap berikutnya. Ini disebabkan raihan positif kelompok Islamis yang saat ini terjadi justru di kota-kota metropolitan yang sangat terbuka dengan arus pemikiran dan ideologi yang kompetitif. Seperti Kairo (ibukota), Alexandria (kota pesisir terbesar), Port Said (kota pelabuhan internasional), dan Bahrul Ahmar (kota pariwisata yang terkenal dengan panorama Laut Merah seperti Resor Hurghada). Perolehan suara yang signifikan di provinsi-provinsi utama tersebut bisa menjadi indikator bahwa di provinsi yang lebih rendah produktifitasnya bisa dipastikan raihan suara kelompok Islamis relatif sama dan bahkan mungkin akan mendulang lebih besar suara.

Positif Buat Barat

Sebelum revolusi rakyat meletus di Arab, selama lima dekade lebih para rejim di kawasan Arab rajin memerangi dan mengucilkan kelompok Islamis, tanpa membedakan orientasi politik mereka. Padahal pandangan politik kelompok Islamis Arab tidak seragam. Mereka secara umum terbelah dua, antara yang memilih jalur damai dengan menerima prosedur demokrasi dan yang menempuh jalur kekerasan dan radikalisme, serta menolak sistem demokrasi. Dua metode tersebut sebenarnya lahir akibat polarisasi pandangan dua kubu dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, sebagai induk semua gerakan Islam di Timur Tengah, baik yang moderat maupun radikal.

Dinamika pemikiran politik Ikhwanul Muslimin sepeninggal Hasan Al-Banna memang terbelah menjadi dua kutub faksi, antara faksi Qutbian (yang berafiliasi kepada pemikiran jihadis-revolusioner Sayyid Qutb, yang wafat di tiang gantung rejim Nasser) yang memilih kombinasi dakwah dan jihad bersenjata untuk menegakkan Islam, dan faksi Hudaibian (yang berafiliasi kepada pemikiran dakwah-politis-parlemen yang digagas oleh Hassan Hudaibi) yang dikenal lebih pragmatis dan kompromistis. Ideologi Hudaibian kini lebih populer dan diterima oleh mayoritas faksi Ikhwan di dunia Arab.

Selama lima dekade itu, faksi Qutbian dengan beragam variannya (At-Takfir wal Hijrah, Al-Jihad Al-Islami, dan Jamaah Islamiyah) diberangus dan disiksa hingga aksi rejim dibalas reaksi Islamis yang melahirkan gelombang kekerasan yang berpuncak pada tewasnya Presiden Anwar Sadat dalam parade militer 6 Oktober 1981, bahkan terus terjadi hingga dekade terakhir era kekuasaan Mubarak dengan eskalasi berbeda-beda. Faksi ini belakangan bertransformasi ke dalam Tanzim Al-Qaeda, di mana Ayman Zawahri, seorang simpatisan faksi Qutbian, akhirnya menjadi tangan kanan Osama bin Laden yang melancarkan perang jihad terhadap pangkalan-pangkalan militer AS di Timur Tengah pasca gagalnya Invasi Irak ke Kuwait dan tumbangnya Saddam Husain oleh pasukan sekutu AS. Dan selama itu pula lah, faksi Hudaibian yang memilih jalur damai dan gradual lewat kanal politik praktis dalam memperjuangkan ideologinya, justru dimarjinalkan dan ditekan secara sistematis. Kekuatiran rejim Mubarak terhadap kekuatan riil kelompok Islamis moderat inilah yang sering dijadikan kartu truf untuk menekan Negara-negara Barat agar tidak campur tangan dan tidak memaksakan demokratisasi di Mesir jika tak ingin negeri pyramid itu dikuasai oleh kelompok Islamis.

Namun, meski gagal di pentas politik karena intrik rejim penguasa, faksi Hudaibian ini sukses menggalang dukungan massa di tingkat elit dan grassroot. Keberhasilan Partai Kebebasan dan Keadilan bentukan IM di Mesir dalam pemilu saat ini, tak lain adalah buah pengalaman panjang mereka dalam mengorganisir basis-basis pendukungnya di seluruh pelosok Mesir.
Perkembangan politik Arab saat ini jadi momen penting bagi para pemimpin kelompok Islamis untuk meyakinkan Barat bahwa mereka bukanlah ancaman. Bahkan mesti dipandang positif oleh Barat. Rashid Ghanoushi, pemimpin Partai An-Nahda Tunisia, seperti dikutip harian ‘The Washington Post’ (1/12) menyatakan bahwa Agama tidak bertentangan dengan demokrasi, HAM dan keadilan. Justru, menurutnya, karena pengucilan dan penyingkiran kelompok Islam moderat dari panggung politik Arab selama beberapa dekade, telah membuka peluang dan ruang bagi kekuatan kelompok Islam radikal. Perubahan besar yang terjadi akibat Arab Spring tak hanya melengserkan para diktator tapi juga memberi pukulan telak kepada para teroris radikal, karena selama ini mereka mengklaim bahwa cara kekerasan adalah satu-satunya jalan untuk mendongkel kekuasaan para diktator Arab yang disokong Barat.

Tantangan Hakiki

Katakanlah tantangan stereotip buruk yang dilekatkan kepada mereka sudah teratasi dengan realitas politik yang kini mereka kendalikan. Namun kemenangan yang diraih faksi-faksi politik Islam di Mesir, termasuk juga Negara-negara lain seperti Tunisia dan Maroko, bukan berarti tidak akan menghadapi tantangan lain yang lebih serius. Justru karena ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap mereka yang selama beberapa dekade membuktikan diri tidak terkontaminasi rejim-rejim lama yang korup, menjadikan mereka dalam situasi yang tidak mudah. Agenda riil problem-problem sosial dan ekonomi yang menumpuk pasca lengsernya Mubarak sudah siap menanti untuk diatasi. Ini jadi pertaruhan tersendiri karena partai bentukan IM terkenal dengan slogan ‘Islam adalah Solusi’ dalam kampanye mereka.
Siapapun yang akan memimpin Mesir setelah revolusi akan menghadapi situasi yang sangat pelik. Faksi Ikhwanul Muslimin, yang diwakili Partai Kebebasan dan Keadilan, harus sanggup mengatasi problem ekonomi yang makin suram pascarevolusi. Dengan angka pengangguran 9.7 persen dan 40 persen rakyat hidup miskin dan di bawah garis kemiskinan, serta tingginya tingkat buta huruf yang mencapai 71 persen dari penduduk, ditambah menyusutnya cadangan devisa Mesir dari sebelumnya 36 Milyar dollar sebelum Mubarak lengser, dan kini tinggal 15 Milyar dollar, pasti akan menjadi tantangan tersendiri buat partai yang berkuasa nanti. Belum lagi, Mesir pascarevolusi mengalami defisit anggaran yang sangat besar, karena 55 persen dari APBN-nya tersedot untuk menanggung beban susbsidi kebutuhan dasar rakyat dan membayar bunga hutang luar negeri.

Selain tantangan sosial ekonomi di atas, hal lain yang perlu diatasi dan dijinakkan oleh faksi Islam politik adalah isu memburuknya sentiment minoritas Koptik dan kekuatiran kelompok liberal dan Koptik atas politik rejim teokratis pascapemilu, serta tantangan politik menyangkut nasib Perjanjian Damai Mesir-Israel yang diteken Anwar Saddat tahun 1979 silam. Waktu lah yang akan menyingkap apakah mereka sukses atau gagal menjabarkan ‘Islam adalah Solusi’ seperti slogan mereka selama ini, atau justeru akan menjadi boomerang tersendiri karena tak sanggup memenuhi ekspektasi rakyat yang menginginkan terwujudnya perbaikan taraf hidup dan ekonomi mereka. Minimal simpatisan IM, dan rakyat Mesir secara keseluruhan ingin melihat apakah partai-partai Islam yang memenangi pemilu itu akan berhasil memajukan ekonomi Mesir seperti AKP pimpinan Erdogan yang sukses di Turki atau tidak. Inilah pekerjaan rumah yang sangat berat, selain menghadapi isu-isu luar negeri lainnya. Wallau A’lam

Fahmi Salim, MA. Alumni Al-Azhar Kairo dan Peneliti Pusat Kajian Timur-Tengah (PKTT) Universitas Muhammadiyah Jakarta.

0 komentar: